Aku berada di rumah sakit, duduk dengan lutut nyaris mati rasa. Anak berumur empat tahun itu ada di ruang ICU dan mempertaruhkan hidupnya. Saat aku melihat darah di sekujur tubuhnya. Aku sudah tak ingin lagi melihat karena aku mungkin tak akan sanggup melihatnya lagi di kepalaku. Tante Naura tak berbicara padaku, sama sekali tidak melihat ke arahku. Seakan aku memang tidak ada. Dia jadi luar biasa dingin. Matanya merah dan tangannya pucat. Seluruh tubuhnya berubah pucat. Air mata terus saja mengalir dari matanya tanpa suara. Dihapusnya lagi dan lagi.
Aku tidak tahu sudah berapa jam aku menunggu di sana. Ayah mungkin sedang dalam perjalanan kembali pulang, butuh tiga jam untuk lewat TOL. Operasi belum selesai. Dadaku masih saja terasa sesak, seakan sesuatu yang berat membebani dadaku dan menutup saluran pernapasanku. Tante Naura mungkin berpikir aku sudah membahayakan anaknya, dia mungkin berpikir seperti itu. Itulah kenapa dia berubah menjadi dingin sekali. Dia mungkin berpikir bahwa aku tidak bisa membalas semua kebaikannya selama ini, sehingga aku membiarkan anaknya membuka pintu itu sendiri dan berlari ke sebrang jalan untuk satu buah balon bodoh. Dia mungkin akan membenciku seumur hidupnya sekarang. Baginya aku tidak pantas untuk mendapat kebaikan apapun.
Aku kemudian melihat ayah berlari dari ujung koridor rumah sakit. Saat itulah, untuk pertama kalinya, aku ingin menangis dan meminta maaf untuk semuanya. Ayah melewatiku dan menuju Tante Naura. Tante Naura berdiri dan langsung memeluknya dengan erat. Tangisannya langsung pecah lagi ke seluruh koridor. Aku berdiri di atas kakiku, seakan menunggu giliranku melakukan hal yang sama. Itu adalah tangisan yang lama dan aku tak berhenti menguatkan kakiku yang mulai suka sekali bergoyang lunglai sendiri. Tante Nuara kemudian melepas pelukan ayah. Dia masih sesunggukkan. Aku menatap ayah saat ayah berbalik ke arahku. Kupikir itulah saatnya aku memeluknya juga dengan erat. Tapi itu tidak benar, serangan yang kuterima itu tiba-tiba dan sama sekali tak kupikirkan. Ayah berjalan ke arahku kemudian menamparku dengan keras dan membuatku sampai terjatuh dari atas kakiku. Kemarahan di matanya tampak sangat jelas. Ini dia, monster yang pernah kuhadapi bersama ibu muncul kembali di hadapanku.
“Kamu ingin menghancurkan hidupku! Aku tahu kamu tidak pernah menyukaiku!” dan cacian kotor keluar dari mulutnya beserta sumpah serapa. “Kamu pikir aku tidak berani?! Aku akan melemparmu ke dalam penjara. Hiduplah di sana semaumu. Mulai saat ini, aku tidak punya anak sepertimu!” Tangannya terkepal erat seakan dia akan memukuliku. Beberapa suster berlari ke arah kami dan mencoba melerai. Seseorang suster langsung membantuku berdiri dan membawaku pergi saat itu juga.
Pipiku rasanya begitu terbakar, tapi tidak ada air mata yang mengalir keluar. Semuanya mengumpul di dalam dan membuatku ingin meledak. Aku masuk ke dalam salah satu ruang kamar dan seorang suster memberikanku air untuk minum.