20
Adlan mengantarku pulang ke rumah ibu. Aku membiarkannya masuk dan memarkirkan motornya di dalam gerbang teras. Dia jadi menanyaiku banyak hal. Mulai dari sejak kapan aku di sini, apa ayahku tahu aku di sini, aku tinggal bersama siapa, bagaimana hubunganku dengan ayahku pada akhirnya. Tak satupun dari pertanyaan itu kujawab dengan benar.
Adlan masuk dan duduk di sofa di ruang tengah, menghadap televisi yang masih menyala. “Kamu membiarkan televisinya menyala?” dia benar-benar terkejut.
“Aku lupa mematikannya.”
Keadaan rumah itu sudah jelas sekali menggambarkan bahwa aku tinggal di sana sendiri, tanpa siapapun. Piring kotor dan sampah juga sudah menumpuk di meja. Baju kotor yang kugunakan berkali-kali ada di punggung sofa, tersandar di sana.
“Aku punya susu di belakang, sebentar, akan kuambilkan,” aku hendak berlalu. “Oh, kamu juga bisa makan snack di atas meja, pilih saja sesukamu.” Yang pasti snack-snack itu sudah lembek karena kubiarkan terbuka dari semalam.
Aku menghampiri Adlan di sofa. Dia tampak memperhatikan semua yang ada di dalam rumahku. Foto-foto semasa kecilku yang terpajang di dinding, tak lewat ia perhatikan. Dia juga memperhatikan koleksi gantungan ibu. Ibu senang mengoleksi dreamcatcher, dari yang satu lingkaran sampai yang bersusun-susun. Semua koleksi ibu memang terlihat etnik, taplak meja dan penutup tv, kemudian gelas kesukaan ibu. Aku menggunakannya setiap ingin minum.
“Baiklah, aku akan cerita apa yang sedang terjadi,” kutuangkan susu coklat ke gelasnya, “aku diusir lagi dari rumahnya, entah untuk kesekian kalinya. Aku hampir membunuh adik tiriku, ya, itulah yang dikatakan semua orang, mungkin benar,” kuseruput es susu itu dengan nikmat. “ayah menamparku keras dan mengancam akan menjebloskanku ke penjara. Ibu tiriku bersumpah akan menyusahkan aku seumur hidupku.”
“Della,” Adlan menggaruk pelipisnya sendiri, kebingungan, “bagaimana keadaannya, adik tirimu?”
“Kritis, mungkin.”
“Kamu… berharap dia mati?” tanya Adlan, nadanya terdengar cukup berhati-hati. Aku menatapnya datar, berharap menemukan tatapan itu, tatapan jijik dan menyalahkan. Adlan masih cukup tenang.
“Ya, sebelumnya aku memang berpikir begitu. Aku berharap anak kecil itu mati, aku berharap, wanita itu juga mati, aku berharap ayah mati. Aku pernah berpikir membakar rumah itu saat mereka tertidur dan kukunci semua pintu. Aku berpikir seperti itu.”
“Baiklah, semua orang terkadang berharap kematian untuk siapapun yang mereka benci.”
Aku menahan untuk tidak tersenyum lebar.