Menuju hari itu, aku terus meminta diriku untuk bertahan sedikit lebih lama. Malam terkadang jadi lebih sulit, saat hari begitu dingin dan pikiran kapan saja bisa menggila. Pertanyaan soal hidup terus saja menyerangku seperti bom israel. Terkadang aku melihat ponselku lebih sering dari yang kuminta, berharap ada panggilan masuk dari sana. Aku tak ingin munafik. Aku berharap ayah menelepon, mengabariku bahwa anak itu baik-baik. Kurasa tak ada telepon juga bagus. Itu pertanda bahwa semuanya berjalan baik-baik saja, tentu saja tanpa aku ada di sana.
Aku belajar untuk ujian akhir nasional dengan baik sekali. Aku juga menemukan beberapa beasiswa yang memang banyak ditawarkan di minggu-minggu ini. Aku mengumpulkan semua informasi soal itu beserta formulirnya. Ada yang dari sekolah dan ada yang berasal dari luar sekolah. Aku jadi luar biasa senang membayangkan semuanya bakal berjalan baik. Aku bisa hidup lebih baik dari ibu. Hidupku bisa jauh lebih bermakna. Dan pada akhirnya, ya, pada akhirnya aku akan berani untuk bermimpi. Ini mungkin adalah satu langkah paling besar dan paling berani yang kuambil di dalam hidupku.
Aku lebih sering bertemu dengan Adlan, sekaligus memastikan bahwa laki-laki itu tidak tiba-tiba saja berubah pikiran. Aku masih saja menyapanya dengan ekspresi tidak ramah, seakan-akan kami tidak dekat. Aku tidak ingin membuat semua orang berpikir bahwa kami dekat.
Aku kembali kepada mode ‘menjadi orang normal’ di sekolah. Aku mencoba kembali memasuki komunitas walau aku tidak menyukainya, berbagi cerita dan tawa dengan mereka walau aku tidak begitu tertarik untuk melakukannya. Lagipula tidak banyak yang tersisa di minggu terakhir ini, semua orang sibuk mebicarakan ujian akhir dan universitas yang ingin mereka pijak. Sedangkan aku cukup dengan angan-anganku keluar dari semua komunitas ini dan hidup di wilayah yang baru. Itu saja sudah cukup membuat hariku lebih bermakna.
Malam itu Adlan menjemput ke rumah karena ada hal yang ingin kubicarakan persoal masa depan. Kami mendatangi sebuah kafe murah di pinggiran. Kafe itu sudah cukup ramai, motor-motor terparkir di depan kafe dan lampu-lampu yang terus berganti warna tergantung di depan pintu masuk kafe.
“Jadi di sini tempat kamu sering nongkrong?” tanyaku sebelum turun dari motor.
“Bukan sering, hanya sesekali.”
Aku membenarkan ransel yang kukenakan. Ada beberapa berkas dan formulir beasiswa di dalam ransel itu. Aku berpikir pasti tidak sulit untuk mambuat Adlan juga mendapatkan beasiswanya. Bisa dibilang dia cukup berprestasi di sekolah. Nilainya juga terkadang masuk ke rangking sepuluh besar di sekolah. Kami cukup bepotensi mendapatkan beasiswa. Sekarang yang dibutuhkan hanyalah seberapa pintar kita bisa melihat peluangnya.
Kafe itu cukup unik, meja pemesanan ada di bagian luar kafe. Jadi orang bisa memesan lebih dulu sebelum masuk ke dalam. Aku memesan caramel machiatto, minuman manis bisa menyegarkan kepalaku dan menolong moodku yang kapan saja bisa kacau. Adlan memesan es kopi susu. Kemudian kami memesan snack seperti kentang, somay dan sosis. Terakhir kubiarkan Adlan membayar untuk pesanan kami.
Kami duduk tidak jauh dari pintu masuk untuk menghindari keramaian yang jadi semakin ramai jika masuk semakin ke dalam. Sambil menunggu pesanan kami selesai dibuat, aku mengeluarkan apa yang ada di dalam tasku. Hal pertama yang aku tanyakan padanya adalah persiapan apa yang sudah dia buat.
“Persiapan apa?” Adlan malah balik bertanya.
“Aku hanya ingin memastikan bahwa kita berdua mendapatkan beasiswanya, persyaratannya bukan main-main. Beberapa meminta nilai yang tinggi untuk ujian akhir. Kamu harus belajar lebih keras, aku juga melakukannya.”
Pesanan kami kemudian datang, aku dan Adlan langsung meminumnya. Adlan mungkin tidak akan menyangka pertanyaan apa yang selanjutnya akan aku lontarkan padanya.
“Bagaimana dengan ayahmu?”
“Kenapa kamu peduli?”
“Aku hanya ingin memastikan dia tidak memberatkanmu atau kamu masih memberatkannya. Jika kita sudah pergi, tidak akan ada jalan kembali,” ucapku enteng. Adlan lagi-lagi tak langsung menjawab, aku jadi curiga bahwa kecurigaanku memang benar. Jika dia sampai berkata ‘baiklah’ padaku tanpa berpikir apa-apa, habislah dia.
“Dia … baik-baik saja,” jawab Adlan akhirnya tanpa benar-benar menatap ke mana-mana.
“Jika kamu tinggal sendiri, lalu di mana ayahmu, apa dia tinggal dengan kakakmu?”
“Kakakku tinggal dengan teman-temannya, ayah tinggal sendiri.”
“Kamu bilang dia baik-baik saja apa memang dia baik-baik saja atau cuman pikiranmu saja?”