22
Aku menatap langit di atasku, warnanya sudah berubah menjadi biru muda dan langit kekuningan berada di ujung mata memandang. Aroma fajar memenuhi rongga hidung dan aku tak perlu jaket untuk menikmati angin pagi. Tubuhku sudah banyak menyerap angin malam, angin pagi terasa lebih hangat, lebih sejuk.
Awalnya Adlan tidak bilang apa-apa, dia bilang kalau kita sudah keluar dari kota. Beruntung bahwa hari itu akhir minggu, kita tidak perlu berpikir soal sekolah. Aku tak bertanya bagaimana Adlan membawaku menelusuri jalanan tidak rata dan bebatuan. Kami juga melewati daerah yang banyak dipenuhi pohon dan sawah. Orang-orang sudah pergi bekerja saat subuh baru saja berlalu. Aku meletakan kepalaku di pundaknya dan menikmati pemandangan itu dengan hikmat. Kurasakan geronjalan itu terasa lebih menyenangkan karena kepalaku beradu dengan bahunya.
“Kamu tidak tanya kita ke mana?” angin menerbangkan rambut Adlan saat dia melirikku yang bersandar di bahunya.
“Aku tidak peduli,” dan Adlan tersenyum lebar.
Kami sampai di sebuah pantai. Saat subuh tidak ada orang lain di sana. Adlan memarkirkan motornya tak jauh dari gelombang pantai. “Wow!” aku langsung berteriak kencang, mengangkat ke dua kepalan tanganku tinggi-tinggi ke udara sesaat setelah motor berhenti. Aku turun dari motor dengan senyuman luar biasa lebar. Ini liburan untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
Aku melompat-lompat di atas kakiku dan menerbangkan pasir-pasir itu ke segala arah. Kutendang-tendang pasirnya. “Kamu harus segera menyusulku ya,” kulepas sepatuku dan kulempar. Aku menatap Adlan dan melemparkan tatapan kegembiraan itu padanya. Aku langsung berlari sekencang yang aku bisa menuju gelombang pantai.
Sayang aku tidak membawa baju ganti, aku benar-benar ingin menceburkan diriku ke air. Adlan masih saja mengamatiku dari kejauhan. Aku tahu dia juga menikmati apa yang dia lihat, padahal merasakan kebahagiaan itu sendiri jauh lebih nikmat. Kulambaikan tanganku padanya dan saat itulah dia mulai bergerak, berjalan begitu santai ke arahku. Aku menunggu selagi menatapnya. Angin menyusup masuk ke dalam bajunya dan membuat bajunya menggelembung, matanya menyipit karena sisa-sisa angin malam yang lari dari arah laut ke darat. Saat dia sudah berada cukup dekat, kutarik tangannya sekuat tenaga. Aku hendak melemparkannya dan menceburkannya, itu diluar yang dia perkirakan. Adlan yang terkejut malah menarikku ke arahnya. Walau dia akhirnya jatuh lebih dulu ke laut, aku menyusul. Kami basah kuyub. Air masuk ke hidung dan ke mulut. Kami terbatuk bersamaan.
“Kamu sudah gila, ya?” Adlan meraup wajahnya dari air. Aku tertawa keras.
Aku tertawa menatapnya, nyaris terpingkal. Adlan ikut tertawa.
“Jika sudah basah, sekalian saja basah kuyub. Aku tidak mau kena flu sendirian saat pulang.” Dengan senyuman yang terakhir kulemparkan, aku mendorong tubuhku sendiri ke air dan mulai berenang. Dengan pakaian utuh! Seluruh tubuh dan bajuku sudah terasa seperti garam. Adlan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sesaat dia menatapku sebelum dia mengeluarkan dirinya dari air. Selanjutnya dia mungkin sedang sibuk berpikir bagaimana caranya mengeringkan baju kami. Tidak sia-sia, aku sudah memberikannya pekerjaan. Sisanya hanyalah aku yang bersenang-senang.
*
Rencanaku telah kupikirkan matang-matang sampai-sampai aku tak berpikir bagaimana jika saja semua rencana itu gagal. Aku tak memikirkan segala kemungkinan yang bisa menjadi penghambat. Lebih tepatnya aku tak ingin memikirkannya. Aku sudah belajar dengan giat. Semua keperluan dan persyaratan beasiswa tinggal sejengkal lagi yang artinya sudah dalam genggaman. Aku bisa bebas. Aku bisa segera lepas. Aku tak ingin memikirkan hal lain karena bisa jadi aku takut jikalau aku tak mendapatkan apa yang aku mau. Aku berpikir untuk menemui ibu terakhir kalinya. Aku bertekad menemuinya saat ujian nasional selesai. Aku akan bilang padanya bahwa aku tidak akan kembali, aku akan hidup bahagia dengan caraku mulai saat ini. Semuanya memang begitu mudah saat berada di pikiranku.
Hari itu, aku hendak berangkat ke sekolah. Aku menemui dua orang berpakaian rapi di depan rumah. Mereka sangat terkejut saat mendapatiku di dalam sana. Aku bahkan tidak hendak menggubris keberadaan mereka jika saja mereka tak memanggilku lebih dulu.