Sayap Burung Patah

rimachmed
Chapter #24

Bagian #24

Empat tahun berada di Amerika. Aku telah menjadi orang yang berbeda, keadaan emosional yang dulu bisa begitu membucahku tak pernah kurasakan lagi. Aku menjalin pertemanan dengan siapa saja. Aku ingin belajar dari semua orang yang kutemui soal hidup mereka. Tinggal di wilayah yang berbeda memberiku rasa yang beda. Kebudayaan yang berbeda menantangku untuk menjadi lebih hidup di tempat ini.

 Aku memilih program beasiswa untuk jurusan managemen komunikasi di suatu universitas di Amerika Utara. Aku tidak menyangka bahwa semuanya bakal berjalan sesuai yang kuinginkan. Ayah tampak tidak bisa berkata-kata saat mengetahui bahwa aku memperoleh beasiswa. Dia tampak ingin seolah-olah mendukung kuputusanku yang memang takkan mengubah apapun.

Aku menjalani kehidupanku sepenuhnya mandiri. Kupenuhi semua kebutuhan hidupku sendiri. Aku bekerja dengan beberapa anak dari kelompok beasiswaku. Kami membeli sebuah van dan menjual jagung susu keju di pinggir jalan. Kami mendapatkan investor dari Indonesia juga. Hasilnya sangat lumayan sekali untuk menambah kebutuhan hidup yang tidak murah di Amerika.

Aku suka musim dingin di negara ini. Aku membeli banyak pakaian tebal di pasar barang bekas yang menjual segalanya dengan harga sangat murah. Aku membaca buku di taman di dekat rumah dengan pakaian musim dingin. Musim dingin membuatku tidak merasakan apa-apa selain rasa dingin yang menusuk tulang. Kemudian kupenuhi kepalaku dengan berbagai buku yang aku baca.

Kugenggam sebuah buku. Buku ini kudapatkan saat salah seorang teman Indonesia memperlihatkannya padaku. Dia menyebut dengn begitu berlebihan soal seberapa bagus buku itu. Aku tidak bisa menahan senyumanku sendiri. Kuperhatikan cover berwarna oren di sana. Tidak hanya aku yang menjalani hidup, dia juga menjalani hidupnya. Dia juga berjuang dengan caranya sendiri dan dia berhasil. Aku senang sekaligus muram. Kita bisa saja bersama hari ini dan menikmati musim dingin selagi musim dingin membungkam seluruh memori. Kubaca sekali lagi judul bukunya, ‘Mimpi Seorang Pecandu’ oleh Adlan Ruslan. Aku sudah membaca isinya dan sekarang kubaca lagi. Buku ini mungkin akan menjadi salah satu buku favoritku sampai aku mati. Kubuka satu halaman yang kutandai kemudian kebaca di dalam hati.

“Jika aku ingat hari ketika aku dilahirkan, aku mungkin takkan pernah meminta di mana aku harus tinggal. Aku bahkan tak perlu mengeluh soal ketidaknyamanan, Tuhan telah membungkam mulut kita dengan cara yang pintar. Kita terlahir sebagai makhluk kecil yang tidak bisa merasakan secara kompleks, sebaliknya sangat sederhana. Pada akhirnya kita tumbuh menjadi seseorang. Siapa yang kemudian mengajarkan kita soal ketidaknyamanan sehingga kita menuntut lagi dan lagi. Siapa yang mengajarkan kita untuk menjadi sesosok manusia. Jika memang naluri yang menuntun kita ke sana, bagaimana kita bisa mengenal perpecahan dan penderitaan? Bukankah manusia lahir dengan cara yang sama. Semua manusia awalnya adalah hina, kemudian kita mengambil kehidupan yang berbeda dan meletakan kenyamanan kita di tempat yang salah …”

Membayangkan Adlan Ruslan menulis buku ini membuat adrenalinku terpacu. Laki-laki yang kupikir sudah mati, mungkin karena gantung diri atau overdosis, dia berada di belahan bumi yang lain dan sekarang hidup dengan baik. Lebih baik dariku, aku mengakuinya. Loncatannya jelas lebih besar dan berani, aku salut. Dia memilih untuk menonjolkan dirinya dibanding menyembunyikan diri setelah apa yang terjadi padanya.

“Aku kehilangan siapa diriku berkali-kali. Aku jatuh dan rasanya tak ada seorang pun yang bisa menyelamatkanku. Ibuku meninggalkanku, satu-satunya orang yang akan membelaku walau aku bersalah. Dialah yang akan mengorbankan segalanya untuk anak-anaknya, walau anaknya lahir sebagai seorang pecundang, atau bejat sekalipun.

Lihat selengkapnya