Tidak banyak teman yang aku miliki selama setahun lebih sekolah di MIN. Aku hanya punya satu teman akrab, namanya Risfan. Anak yang bertubuh tambun itu anak orang kaya. Pakaiannya selalu terlihat baru, tetapi tidak pernah rapi. Risfan punya kebiasaaan aneh, dia suka main debu di perkarangan sekolah. Mamanya sudah berulang kali mengingatkannya untuk tidak bermain kotor-kotoran seperti itu, tetapi entah kenapa dia masih saja melakukannya.
Kedekatanku dengan Risfan diawali saat dia datang menghampiriku yang sedang duduk termangu di bawah tiang bendera ketika jam istirahat. Risfan sepertinya menyadari kalau aku sedang menelan ludah, berusaha untuk bersabar dan bersyukur masih bisa hidup dan tersenyum meskipun tidak bisa pergi ke kantin untuk jajan seperti yang dilakukan oleh anak-anak yang lain.
“Kamu tidak ke kantin?” Risfan duduk di depanku, di atas pasir.
“Tidak.” Aku menggelengkan kepala. Sekilas aku bisa melihat es lilin yang dipegang oleh Risfan terkesan jorok sekali. Plastik sisi luarnya sudah berdaki, karena tangannya penuh dengan sisa debu setelah mengorek-ngorek pasir untuk memperbaiki sarang semut yang dihancurkan oleh sekelompok anak yang bercita-cita bernasib lebih buruk dari bapaknya yang sehari-hari bekerja serabutan.
“Ini uang buat kamu!” Risfan mengeluarkan uang lima ratus rupiah yang ada gambar orang utan dari saku baju yang sudah memerah terkena air es yang sedang digigitnya.
Lagi-lagi aku menggelengkan kepala. Aku tidak mau mengambil uang itu, aku takut Mak memarahiku. Setiap hari Mak mengajariku untuk tidak pernah meminta atau mengambil uang yang dikasih oleh orang.
“Kamu mau es?” tanya Risfan sembari menyodorkan es yang dijual seratus rupiah itu.
Meskipun terlihat kotor, es lilin itu tetap terlihat begitu menggoda, apalagi cuaca sedang panas-panasnya seperti ini.
Perlahan aku mulai mengansurkan tanganku untuk meraih sodoran dari anak berkulit putih itu. Dengan penuh tenaga, aku dan Risfan mulai memutar plastik es ke dua arah yang berbeda. Sejurus kemudian, serempak tangan kami menarik plastik es itu ke arah belakang. Sangking bersemangatnya, kami terpental, es pun jatuh ke tanah dan tak bisa dinikmati lagi. Sekarang aku pun sudah mirip dengan Risfan, bajuku kotor. Aku langsung bisa memprediksi apa yang akan terjadi di rumah nanti. Mak pasti akan habis-habisan memarahiku dan aku hanya bisa pasrah tidak bisa melakukan pembelaan apa-apa. Hmmm nasib.
***
“Ilmu dunia dan ilmu agama itu semuanya penting. Kalau kita mati nanti, minimal Mahir bisa membaca doa buat kita,” kata Mak sambil menyapu halaman rumah yang banyak daun jambu kering yang berjatuhan.
“Malam besok antarkan saja Mahir ke rumah Po[1] Halimah!” ujar Pak yang duduk memeluk lutut di teras rumah dengan segelas kopi Aceh di sampingnya.
“Coba Abang tanya sama Mahir dulu. Siapa tau ada tempat mengaji lain yang lebih dia suka.”
“Tidak usah. Mahir pasti mau ngaji di sana.”
Benar seperti yang Pak bilang, aku tidak mempermasalahkan di mana aku akan belajar ilmu agama. Bagiku yang terpenting adalah bisa selalu menjadi anak yang penurut, tak pernah membantah sedikit pun perintah orangtua. Aku takut masuk neraka, aku tidak mau jadi anak durhaka yang setiap langkah kakiku terkutuk menjadi tak bernilai apa-apa.