SAYAP-SAYAP DOA

Fendi Hamid
Chapter #5

"Berbagi"

Rasanya senang sekali bisa melihat Kak Nur mendapatkan ijazah pertamanya. Sekarang dia sedang bimbang, dia bingung harus melanjutkan ke mana. Ada dua pilihan yang perlu diperhitungkan baik-baik, memilih melanjutkan ke MTs atau ke SMP yang sudah lama berstatus negeri dan unggul di bidang keseniannya.

Adu gengsi antar dua sekolah itu sudah berlangsung cukup lama. Anak Mts sering merasa malu, karena gedung sekolah mereka masih berupa papan yang beratap seng yang sudah berkarat. Meskipun begitu, bukan berarti anak-anak MTs bisa diremehkan. Untuk urusan olahraga mereka menjadi yang terbaik di desa. Anak-anak SMP sering tidak berkutik jika harus bertanding volly dan bola kaki dengan anak-anak MTs yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan ada kumisnya.

“Kamu mau lanjut ke mana, Nur?” tanya Mak.

“Tidak tau, Mak.” Jawab Kak Nur gamang.

“Masuk MTs saja! Kasihan Mahir tidak ada yang jaga.”

“Iya, Mak.”

Namaku akhirnya menjadi pertimbangan Kak Nur sekolah di MTs, karena MIN dan MTs berada di dalam satu perkarangan. Iming-iming masuk ke SMP karena ada sanggar tarinya sama sekali tidak membuat Kak Nur tertarik.

“Badan kakak kaku. Kakak tidak bisa menari!” Begitu katanya padaku.

Kebahagian melihat Kak Nur sekolah di MTs terkadang menjelma menjadi rasa takut. Rasanya tiga tahun itu bukanlah waktu yang lama, aku khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi di saat Kak Nur tamat MTs yang dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang bernama Bapak Bustami itu.

“Kasihan Kak Nur kalau tidak bisa masuk SMA.” Begitu kata hati kecilku yang sedang duduk termenung di bawah batang mangga yang berada di samping kelas enam atau di depan kelas satu MTs.

“Mahir!” Suara Kak Nur yang datang tiba-tiba membuatku tersentak kaget. Kak Nur terlihat manis sekali. Jilbab putih yang dipakainya sangat serasi dengan rok biru panjangnya

“Ini uang buat kamu!” Kak Nur mengeluarkan uang dari saku bajunya, uang lima ratus rupiah yang ada gambar orang utan yang lagi duduk di atas pohon.

“Uang dari mana, Kak?” tanyaku bingung.

“Tadi Mak kasih.”

Aku menyeringai senang. Setelah dua bulan lamanya, akhirnya bisa dapat uang jajan lagi.

***

Sepatuku mirip sepatu pemain karate di film Cina, sepatu hitam polos yang bertapak tipis. Sepatuku terlihat sedikit aneh, ujungnya sudah robek, jahitan dengan benang pancing yang Pak jahit sudah putus lagi. Alhasil, jempol jari kakiku yang terbalut dengan kaos kaki yang sudah bolong melongok bebas seperti tikus got yang baru keluar dari tempat persembunyiannya. Kalau aku jalan, sepatu itu acap kali membuat masalah. Pasir-pasir di halaman sekolah suka sekali masuk ke dalam sepatuku. Rasanya benar-benar tidak nyaman, tetapi mau bagaimana lagi, apa pun itu akan kulewati, yang terpenting cita-citaku untuk sekolah setinggi-tinggi mungkin bisa kesampaian.

Jam dua belas siang, Guru Ali memukul lonceng pertanda waktu pulang telah tiba. Anak-anak berhamburan keluar dari kelas. Beberapa di antara mereka ada yang berteriak, menendang tong sampah, dan menarik tas teman. Aku tidak menghiraukan kekacauan yang terjadi hampir setiap hari itu. Aku memilih buru-buru pergi ke kantin. Aku mau membeli es lilin. Leherku sudah lama merengek-rengek meminta es yang katanya ada pemanis buatan itu.

Beruntung, aku mendapatkan dua es lilin merah. Ya, meskipun esnya sudah tidak keras lagi, tetapi setidaknya aku bisa menuntaskan keinginanku yang sudah berhari-hari terpendamkan. Setelah itu aku langsung berjingkrak-jingkrak menuju ke depan pintu kelas satu MTs, aku berdiri malu-malu di sana, aku menunggu Kak Nur yang sedang kebingungan mendengarkan penjelasan guru Matematika yang kebagian jam mengajar di saat matahari mulai meninggikan pancaran hawa panasnya.

Pekerjaan menunggu selalu menjadi sesuatu yang menyebalkan, aku tidak tahu harus ngapain, tatapan penguni kelas satu MTs ke arahku membuatku salah tingkah. Es yang aku pegang pun semakin loyo seperti belut tak bertulang. Kak Nur yang duduk di barisan tengah terlihat memberi kode dengan ujung matanya agar aku tidak berdiri di sana. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke depan kelas enam saja. Di sana lagi-lagi aku kebingungan. Suasana begitu sepi, hanya terdengar suara burung pipit, suara seng yang tertiup angin, dan sesekali ada suara kaki meja yang seolah-olah ada yang menariknya. Horor.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu, beberapa hari yang lalu ada kejadian aneh di sekolah kami. Dua anak nakal dipanggil ke kantor dan disuruh bersihkan kamar mandi yang berbau pesing oleh Wali Kelas. Katanya mereka bertengkar hebat. Semua itu dipicu oleh masalah sepele. Khazari membuat surat cinta mengatasnamakan Mahmud. Surat cinta itu dikasih ke Maya. Maya yang cantik tidak menerima diperlakukan seperti itu. Maya malu dikaitkan-kaitkan dengan Mahmud yang berwajah pas-pasan itu. Maya tidak tinggal diam, Maya melaporkan masalah itu langsung ke Wali Kelas. Parahnya lagi ayah Maya tahu masalah itu. Sekedar infromasi, ayah Maya seorang polisi yang tegas, beliau tidak suka anak gadis satu-satunya itu diganggu oleh para bedebah yang pergi ke sekolah hanya untuk main-main saja.

Mahmud sakit hati difitnah seperti itu. Mahmud yang tak berbuat salah apa-apa mulai merekrut beberapa anggota barunya untuk mengusut siapa dalang di balik ini semua.

Lihat selengkapnya