Kalian masih ingat dengan janji Abangku yang akan melakukan apa saja untuk membuat aku dan Kak Nur sukses? Aku kasih tahu sama kalian, jangankan untuk membantu kami, untuk diri sendiri saja dia harus pontang-panting mencari uang. Setiap sore dia selalu pergi ke sungai, memetik daun kangkung untuk dijualnya sebagai bekal untuk sekedar minum segelas kopi dan membeli sebatang rokok. Harinya-harinya suram, beberapa hari yang lalu dia menerima tawaran untuk menjadi tukang sapu di Puskesmas desa yang berada di depan rumah kami, di lorong menuju ke SD dan SMP. Semenjak bekerja sebagai cleaning service, Bang Ikhlas sudah jarang pulang ke rumah, di Puskesmas ada mes yang kosong, dia memutuskan untuk tinggal di sana saja.
Waktu berjalan begitu cepat, jumlah bayi yang lahir lebih banyak daripada jumlah warga desa kami yang meninggal dunia. Pohon kelapa yang dulunya masih kecil-kecil, sekarang sudah tumbuh tinggi menyaingi tubuh para seniornya yang sudah berumur cukup lama. Beberapa gadis di desa juga memutuskan untuk berumah tangga. Kata mereka percuma saja sekolah tinggi-tinggi, nanti kerjaannya di dapur juga. Mungkin satu-satunya hal yang tidak ada perubahan sama sekali adalah rasa takut yang terus menghantuiku di sepanjang hari. Aku percaya akan kekuatan sebuah doa, apalagi doa dari Mak. Namun, entah kenapa aku selalu gagal mengontrol rasa takut yang datangnya tidak pernah mengetuk pintu itu.
Di sekolah, di kelas enam dan kelas lima, ruangannya terlihat lebih bersih dari biasanya. Bunga-bunga plastik digantung dari sudut yang satu ke sudut lainnya. Beberapa meja yang ditutup dengan kain batik disusun memanjang di depan. Gambar Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sudah tak berdebu lagi. Pahlawan kebanggaanku itu terlihat gagah sekali. Foto Presiden dan Wakil Presiden sudah diganti dengan yang lebih baru. Megawati tampak berseri-seri dengan senyuman khasnya. Pak Hamzah Haz juga tak mau kalah, beliau tampil elegan dengan jas dan peci hitamnya yang miring sedikit ke kanan.
Petualanganku selama enam tahun di MIN sudah berakhir. Banyak kenangan yang tak terlupakan di sini. Jika aku harus meminta maaf, mungkin orang yang pertama yang harus aku temui di sekolah ini adalah Ibuk Manyak. Beliau orang yang paling banyak aku repotkan. Dulu, aku pernah pipis di kelas. Aku takut meminta izin ke wc waktu itu. Kawan-kawanku semuanya mentertawakanku. Mereka seolah-olah lupa bahwa mereka juga pernah melakukan hal yang sama atau bahkan lebih parah dari itu lagi.
***
Di halaman sekolah, para wali murid berkumpul, mereka memakai pakaian terbaik yang mereka punya. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu, hari pembagian ijazah. Aku dan Pak datang beberapa menit sebelum acara dimulai. Kami langsung masuk ke dalam ruangan, kami duduk di barisan belakang. Duduk di samping orangtua ternyata tidak sama di saat duduk di samping teman. Aku persis seperti patung, tidak berkutik, dan hanya menatap lurus ke depan, tak berpaling meski hanya satu senti saja.
Ruang kelas sudah terisi penuh, dua bocah kelas lima terlihat berjalan mengitari ruangan untuk membagi air minum dan kue yang sudah dibungkus di dalam plastik. Di dalam hati kecil aku berharap mendapatkan bakwan dan kue lapis. Namun, ekspektasi selalu punya peluang untuk berkhianat dengan kenyataan. Aku malah mendapatkan dua pisang goreng yang ada bijinya. Alah.
Pak menyadari ada raut kekecewaan yang aku perlihatkan. Pak memberi kue yang dipegangnya kepadaku. Namun, kali ini aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Pak malah memberiku dua apem kukus berwarna merah jambu. Feminim sekali.
Suara mic yang berdenging kencang sempat membuat suasana yang riuh menjadi tenang. Seorang anak yang berbaju putih, berpita hijau di lengan, dan berjilbab hitam maju ke meja moderator yang berada di sisi kanan para undangan. Anak itu memberi salam dengan lantang, menyampaikan mukadimah, membaca kata-kata penghormatan, membaca susunan acara, lantas duduk lagi seperti semula, menghadap para hadirin yang mengipas-ngipas diri dengan kertas apa saja yang bisa mereka dapatkan di sana.
Acara pembagian ijazah kali ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini dibuat sedikit lebih meriah. Untuk acara pertamanya saja langsung membuat para anak-anak kelas enam dan anak-anak kelas lain yang berdiri di luar ruangan berteriak histeris.
“Na[1] tarian ranup lampuan[2]!” teriak salah satu anak langganan nilai merah.
“Maya jadi ratunya. Maya jadi tambah cantik!” teriak anak lain tak kalah heboh.
Musik yang mengiringi tarian terdengar bertalu-talu. Para penari tampil dengan penuh semangat, senyuman mereka merekah indah. Sebenarnya semua penari yang terpilih itu cantik dan pintar-pintar, tetapi namanya saja penonton, mereka terlalu membesar-besarkan nama Maya.