Libur telah usai, anak-anak menyambut hari pertama mereka sekolah dengan perasaan senang. Aku tak kalah bergembira menyambut chapter baru di dalam hidupku itu. Sekarang aku tidak lagi merasa seperti seorang bocah. Aku kira orang lain pun tidak mungkin lagi memanggilku anak kecil, karena aku adalah siswa MTs. Bangga.
Sekolah di MTs sebenarnya tidak ada perbedaan mencolok ketika aku sekolah di MIN dulu. Hanya saja di MTs tingkat kedisiplinannya yang lebih tinggi. Semua anak-anak malas sekali jika harus berhadapan dengan Pak Abu. Beliau paling rewel soal kebersihan dan ketertiban. Jangan harap bisa melangkah mulus di depan Pak Abu. Beliau akan memanggil siapa saja untuk mengutip sampah, mengangkat tong sampah, memastikan baju sudah dimasukkan ke dalam, memeriksa apakah baju disetrika atau tidak, memastikan resleting celana masih berfungsi dengan baik, memberi sedikit nasehat, menyuruh hafal pancasila, atau hanya sekedar memegang lengan, tersenyum, dan disuruh pergi lagi.
“Hidup itu harus disiplin. Orang-orang Eropa bisa berhasil, karena mereka disiplin. Kalian harus membiasakan mencatat apa saja yang kalian lihat. Kalau pergi usahakan untuk selalu membawa kertas dan pulpen!” titah Pak Abu sembari memegang pulpen ala pak guru yang tersemat di kantong baju pdh-nya.
Beberapa siswa ada yang mencoba mempraktikkan apa yang dikatakan oleh Pak Abu. Namun, beberapa yang lain menanggapinya sepele.
“Halah. Kurang kerjaan sekali bawa-bawa pulpen,” ujar salah satu penghuni bangku belakang yang tidak jadi bertaubat.
Malang tak dapat ditolak, anak yang hampir tidak lulus di MIN dua tahun yang lalu itu tidak menyadari ada Pak Abu di belakangnya.
Sebuah jeweran pelan mendarat di daun kupingnya yang lebar seperti daun keladi itu.