Hasan namanya, penyuka lagu India, merasa mirip Salman Khan, selalu berusaha tampil trendi, puitis, dan sudah terlanjur dicap pria buaya yang suka mengobral janji. Hasan senang sekali dianggap buaya, padahal tidak ada satu pun gadis yang berhasil ia dapatkan. Cewek-cewek menganggap Hasan aneh. Namun, karena pertimbangan rasa kemanusiaan, mereka menolak Hasan dengan halus dan lembut, “Kamu terlalu baik untukku.” Begitulah alasan yang acap kali Hasan terima.
Hasan tidak memiliki pekerjaan tetap, dia mau melakukan apa saja. Mungkin itulah satu-satunya kelebihan yang ia miliki. Hasan lama bekerja sebagai kuli bangunan. Namun, entah kenapa dia malah membanting setir sebagai pekerja ilegal, pekerja yang memegang risiko tinggi, Hasan memilih menjadi pengumpul kura-kura di rawa-rawa.
Hasan sudah lama sebenarnya suka sama Kak Nur, setiap hari dia selalu melintas di depan rumah. Menurut perhitungan kasarku, sehari bisa tiga kali dia lalu-lalang di sana. Beruntung ia tak bernasib naas tertabrak mobil seperti yang dialami seorang nenek tua beberapa minggu yang lalu.
“Kak, itu Bang Hasan datang!” seruku heboh.
Kak Nur langsung mengambil jurus seribu bayangan, berlari, bersembunyi di kamar.
“Alah!” Gara-gara Hasan aku yang kena imbasnya. Aku terpaksa mencuci piring kotor sendirian di bawah batang rambutan di samping rumah.
“Mahir! Apakah ada bungaku di sini?” Itu suara Hasan, aku sudah hafal dengan suara itu, tetapi aku tidak tahu dari mana suara itu berasal. Celingukan aku dibuatnya. Hasan benar-benar langka, ternyata dia sudah berada di atas batang jambu, berdiri dengan posisi bercekak pinggang, tersenyum sok imut biar semakin mirip Salman Khan katanya.
“Tadi Abang tanya apa?”
“Oh, Adek iparku sayang. Apakah di sini ada bungaku?” Hasan melompat dari batang jambu. Dikeluarkan sisir rambut dari saku celana li birunya.
“Tidak ada bungaku, Bang. Di sini cuma ada bunga mawar, seruni dan bunga matahari,” ujarku sambil menunjuk ke taman bunga kecil di dekat teras.
Muka Hasan berkerut seperti sedang sakit perut. Dia kesal karena aku tak pernah bisa menafsirkan kata-katanya. “Ya sudah, Hir. Abang pulang dulu!”
“Iya, Bang. Besok datang lagi ya!”
***
“Tuhan punya cara sendiri untuk menjawab doa. Jangan pernah berburuk sangka sama Tuhan!” Itulah kalimat penutup ngaji kami malam ini dari Nek Halimah.