Jangan bayangkan aku dan Risfan bisa masuk tim volly MTs. Kami benar-benar payah, untuk sekedar menginjak lapangan volly saja kami tidak dibolehkan.
“Lapangan ini tidak untuk anak-anak yang lemah!” ujar salah satu anggota tim volly yang merasa dialah raja di sini.
Ternyata menjadi orang dewasa itu tidak mudah. Menurut kami lebih enak masa-masa di MIN dulu, karena kami bisa melakukan apa saja, bermain pasir, menendang-nendang jeruk asam, mengorek-ngorek tempat sampah, menghayal jadi pilot sambil meniup-niup pesawat dari kertas, meramal jumlah anak orang dengan menekan urat nadinya, atau sekedar berlarian tidak jelas dari ujung yang satu ke ujung lainnya.
Di pikiran aku dan Risfan sering sekali terlintas untuk kembali sekolah di MIN saja. Namun, kami buru-buru menapik pola pikir konyol itu. Untuk mengobati sedikit rasa rindu, kami akhirnya mencoba untuk bermain ke MIN di jam istirahat. Namun, malangnya rasa rindu itu bukannya pergi, dia malah semakin menjadi-jadi. Di lorong wc kami melihat sekelompok anak-anak sedang bermain gambar tepuk dengan raut wajah tegang. Di depan kelas lima ada dua anak yang sedang memutar-mutar es lilin mereka, persis seperti yang sering kami lakukan. Di belakang kelas tiga ada generasi bedebah baru yang sedang bertengkar hebat. Di belakang kelas lima, kami melihat anak-anak yang sedang mengupas kwini dengan menggunakan teknik alam liar ; langsung digigit seperti yang dilakukan oleh tupai.
Namun yang paling menggemparkan di hari itu bukanlah itu semua. Suara anak kelas dua yang menjerit-jerit histeris berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni sekolah.
“Peng[1] saya hilang!!! Peng saya hilang!!! Aaaaaa peng saya!!!! Aaaaaaa!!” Sebuah tangisan keras yang tidak ada unsur seninya sama sekali.
Isu kehilangan uang itu beredar cepat, karena itu bukan uang pribadi, itu uang kas kelas. Parahnya lagi jumlah pastinya tidak diketahui berapa. Beragam spekulasi, prediksi, dan fitnah menyebar gesit dari kuping yang bersih hingga ke kupik yang penuh congek bin autitis media supuratif kronis.
“Ini pelakunya pasti anak kelas satu,” tuduh anak kelas enam.
“Anak kelas satu belum pintar mencuri,” bantah anak kelas dua.
“Aku yakin sekali pencurinya pasti anak kelas lima,” kata anak kelas empat.
“Aku rasa pencurinya anak kelas dua. Dua tahun yang lalu juga anak kelas dua pelakunya.” Sebuah perhitungan yang tak logis. Maklum, nilai Matematikanya harus dikasih pondasi dua meter lagi.
“Aku curiga sama anak emsen[2]. Tadi aku lihat ada anak emsen ke sini.” Kata-kata ini yang paling masuk akal. Semua orang terdiam, menerawang ke atas seperti sedang mengingat sesuatu.
“Oh iya benar. Tadi ada anak emsen main ke sini.”