SAYAP-SAYAP DOA

Fendi Hamid
Chapter #10

"Dijepit Kepiting"

“Mahir!”

“Iya, Mak!”

“Tolong beli minyak tanah sebentar!”

“Iya, Mak!”

Berjingkrak-jingkrak aku pergi ke warung yang ada di seberang jalan.

“Dhup!!!Dhup!!!”  Pot minyak tanah sengaja aku bentur-benturkan dengan lutut. Suaranya sebenarnya biasa saja, tetapi entah kenapa aku sudah terlanjur suka melakukan itu. Itu sudah menjadi sebuah kebiasaan yang sangat sulit untuk aku hilangkan.

Namun, sekonyong-konyong aku menghentikan langkah kaki, dadaku sesak, telapak tanganku seketika mendingin, keringat pun keluar seperti kain basah yang diperas. Aku harus segera bersembunyi, tetapi aku tidak tahu harus bersembunyi di mana. Di samping kiriku hanya ada padang ilalang tak bertuan. Di sisi kanan sama sekali tidak bisa dijadikan tempat untuk menyelinap karena di sana jalan raya. Kondisi darurat dan mendesak, tetapi aku harus bisa mengendalikan keadaaan, karena sedikit saja aku membuat kesalahan, maka semuanya akan berantakan.

Keadaan dan waktu sepertinya benar-benar tidak sedang berpihak kepadaku. Upayaku untuk melarikan diri gagal total. Sosok yang aku segani sudah terlanjur menyadari keberadaanku di sana.

“Mahir!”

“Iya, Pak!” jawabku dengan suara yang berat.

“Lagi apa kamu?” tanya Guru Ali dengan sorotan mata tajam.

“Ini, Pak!” Mentalku bermasalah, untuk bilang mau beli minyak tanah saja aku sudah tidak bisa.

“Apa itu?” Guru Ali mendekat, tangannya memegang pot yang sudah menguning itu.

“Minyak, Pak!”

“Kamu mau beli minyak?”

“Iya, Pak!”

Guru Ali menatapku aneh, ujung bibirnya terangkat, “Hati-hati! Lihat kiri kanan sebelum potong jalan[1]!”

“Iya, pak!” jawabku lega.

Guru Ali ternyata sedang jalan-jalan santai. Guru Ali tidak memakai alas kaki. Mungkin beliau sedang terapi biar tidak terkena asam urat.

***

Surat yang aku kirim ke Jakarta sudah dibalas oleh Kak Nur. Kami semua lega. Kak Nur tidak mengalami penyiksaan seperti yang kami bayangkan. Kak Nur baik-baik saja di sana, bahkan dari foto yang ia selipkan di dalam amplop itu terlihat Kak Nur lebih berisi dan tersenyum lepas sembari merangkul dua anak Kak Ida yang terlihat sangat manja dengannya.

“Mahir!” Pak memanggilku dari halaman belakang.

“Iya, Pak!” Aku buru-buru menyimpan surat dari Kak Nur di bawah kasur.

“Ikannya di atas batang belimbing Pak gantung. Semuanya ada lima ikat. Bawa sekarang terus!”

“Iya, Pak!” Aku menggelinjang keluar. Sudah beberapa hari terakhir aku mengemban tugas baru, yaitu menjual ikan hasil tangkapan Pak ke pasar. Ikan-ikan yang aku bawa itu adalah ikan belanak, satu ikatnya lima ribu rupiah saja, di dalam satu ikat ikan berjumlah lima sampai tujuh ekor ikan, tergantung dengan ukurannya.

Aku mengantungkan ikan-ikan itu di setang sepeda ontel tua sudah tak berwarna lagi, sebuah sepeda andalan di keluarga kami, sepeda yang lumayan miris, sepeda bersetang kayu karena setang aslinya sudah patah, ban depannya sudah botak, ban belakang sudah dibebat seperti kepala petinju yang kalah telak, rem sepeda itu juga sudah lama meninggalkan dunia. Satu-satunya kelebihan sepeda itu adalah besi tuanya yang selalu mengkilap. Kalau ada turnamen sepeda yang paling kinclong di desa, mungkin sepeda kami akan keluar sebagai juaranya. Wajar, karena sepeda itu selalu Pak oleskan dengan minyak kelapa yang Pak ambil di dapur.

Untuk pergi ke pasar ada dua jalur yang bisa aku lalui, yaitu jalan raya dan jalan kampung. Mak sangat mewanti-wanti agar aku tidak pergi melalui jalan raya, karena ada banyak bahaya di sana. Aku tidak keberatan harus melewati jalan kampung, karena jalan kampung lebih teduh ; banyak pohon yang tumbuh di sampingnya.

Lima menit kurang lebih aku menggowes sepeda ontel itu, akhirnya aku sampai juga di pasar. Hawa panas sangat terasa, tetapi aku tidak peduli. Sepeda aku sandarkan di salah satu dinding toko di ujung lorong. Sepeda itu bergabung dengan sepeda butut lainnya yang sudah lama diparkirkan di sana. Aku mengambil ikan yang masih segar-segar itu untuk segera aku bawa keliling pasar. Aku mengambil start  dari depan bengkel motor tertua di desa kami, berjalan melewati toko Ngoh don, toko Bang Taufik dan toko yang menjual cangkul, palu, pisau, parang dan beragam benda yang terbuat dari besi lainnya.

Orang-orang terlihat sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing, ada yang sedang membeli tomat, terasi, cabai, bawang, tembakau, minyak tanah, kemenyan, kain kafan, pupuk, paku, paku payung, sabun, ikan asin, kunyit, jahe dan masih banyak lainnya yang tak mungkin aku sebutkan di sini semua. 

Cara aku menjual ikan mungkin adalah cara yang tidak pernah bisa ditemui di belahan dunia manapun. Tugasku hanya berjalan di emperan toko, aku tidak berteriak, atau mencoba menawarkan ikan kepada orang-orang yang lalu lalang di sana.

Lihat selengkapnya