Sikapku yang pemalu sangat menguntungkan untukku. Nek Halimah menganggapku santri terbaik yang pernah beliau miliki. Aku menjadi santri yang selalu datang lebih cepat ke rumah Nek Halimah. Aku memiliki banyak tugas di sana yang sama sekali tidak pernah Nek Halimah amanahkan kepada anak-anak yang lain. Tugasku sebenarnya sangat sederhana, tetapi Nek Halimah mengatakan hanya aku yang bisa melakukan itu dengan baik.
“Risfan tidak bisa dia seperti itu, cuma kamu yang bisa, Mahir,” ujar Nek Halimah.
Tugasku selalu diawali dari tangga rumah panggung Nek Halimah, aku menyapu di sana, merapikan sandal dan memastikan tidak ada benda-benda tertentu yang bisa melukai kaki.
“Mendapat pahala itu mudah, menyingkirkan duri di jalan saja sudah Allah hitung sebagai pahala.” Itu salah satu nasehat Nek Halimah yang selalu aku ingat. Dan aku akan selalu berusaha untuk mengamalkannya.
Setelah tangga aku pastikan sudah bersih dan rapi, aku bergegas masuk ke dalam untuk menutup jendela. Jendela rumah Nek Halimah menurutku sangat unik, jendela nako namanya. Jendela itu sekilas mirip dengan jendela kaca biasa, tetapi kaca jendela itu sebenarnya tidak menyatu, kaca-kacanya terpisah di setiap lembarannya. Menutup kaca nako harus berhati-hati agar tangan tidak terluka. Usahakan sebisa mungkin untuk tidak pernah memegang kacanya langsung, tetapi cukup dengan menekan gagang besinya yang ada di bagian ujung kaca.
Setelah semua kaca tertutup rapat, aku melepaskan tali gorden yang terikat di ujung kosen. Gorden transparan berwarna hijau itu selalu membuatku betah berlama-lama berdiri di sana. Gorden itu sangat lembut di saat bersentuhan dengan kulit. Bau dari penutup jendela itu juga sangat wangi. Nek Halimah selalu memperhatikan hal-hal kecil yang ada di rumahnya.
Di bawah jendela, aku mengambil bulu ayam, orang-orang menyebutnya kemoceng, tetapi aku sudah terlalu akrab dengan sebutan bulu ayam, karena menurutku itu memang bulu ayam. Aku mendekati mesin jahit klasik singer manual kesayangan Nek Halimah. Aku membersihkannya dengan sangat hati-hati. Dengan kemoceng yang berwarna coklat itu, aku pastikan tidak ada satu pun debu yang masih terlelap tidur di sana.
Dengan langkah kaki yang teramat pelan seperti seorang prajurit yang terlatih, aku melangkah pergi ke empat kamar yang ada di rumah itu, karena aku satu-satunya orang non penghuni rumah yang bisa akses ke sana. Di sana aku akan menutup jendela, bukan jendela nako seperti tadi, ini hanya jendela papan biasa.
“Saya tidak pernah melihat satu pun anak yang berjalan di atas lantai papan tanpa berderik sedikit pun. Anak itu luar biasa.” Nek Halimah menatapku lekat.
Aku tidak menghiraukan keberadaan Nek Halimah yang baru selesai memberi pakan ayam. Aku sekarang sudah berada di depan lemari besar. Di sana aku akan mengambil semprong lampu teplok yang menghitam, karena terlalu pasrah dan ikhlas ketika asap menjilati tubuhnya. Semprong itu segera aku bawa ke sumur untuk aku basuh biar dia bening seperti semula.
“Nanti selesai ngaji langsung pergi ke dapur ya!” ujar Nek Halimah yang sedang menyimpan sesuatu di bawah tudung saji rotan yang bersebelahan dengan tudung saji plastik berwarna biru.
“Iya, Nek!” Aku mendorong pintu sumur.
Dengan timba yang bertali sabut kelapa, aku menimba air untuk membersihkan kaca semprong dengan sepotong kain kecil yang aku gantungkan di dinding sumur. Kaca semprong itu aku bilas berkali-kali. Aku tidak mau ada sedikit pun kotoran yang masih menempel di sana. Aku ingin semprong itu terlihat seperti baru. Aku tidak mau teman-temanku beralasan tidak bisa melihat Al-Qur’an dengan jelas ketika listrik milik PLN mati tiba-tiba.
“Masih ada minyak tanah, Mahir?” tanya Nek Halimah.
“Masih, Nek!” Aku berhenti tepat di tengah dapur. Sekilas aku melihat Nek Halimah yang sedang menuangkan kolak ke dalam mangkok.
Aku kembali ke depan lemari untuk menyalakan lampu teplok. Di sudut lemari yang sulit dijangkau oleh tangan orang lain, aku mengambil sebuah kotak korek api kayu. Aku putar tuas sumbu lampu teplok sedikit ke atas. Dengan cekatan aku mematik korek api, lalu menempelkannya ke ujung sumbu yang sudah aku buang sisa pembakaran malam sebelumnya. Setelah api menyala dengan baik, tuasnya kembali aku putarkan ke bawah agar tidak terlalu besar lampu teplok itu menyala. Tujuannya tenju saja untuk penghematan minyak tanahnya. Tuas itu akan kembali aku putar ke atas hingga mentok di saat listrik tiba-tiba padam.
Gagang-gagang lampu teplok di rumah Nek Halimah tanpa sengaja selalu bertemakan pendidikan. Yang terbaru ini aku lihat ada gambar sosok perempuan pedalaman Eropa yang sedang membaca sebuah buku dengan bantuan cahaya lampu teplok yang diletakkan di sampingnya.
“Ya Allah! Lindungi Kakak hamba!” Aku tiba-tiba teringat Kak Nur. Namun, aku harus buru-buru menampiknya. Tugasku belum selesai. Di samping lemari ada sebuah piring seng bercorak bunga merah yang penuh dengan sisa-sisa obat nyamuk. Aku harus membuang abu sisa pembakaran itu dan membakar obat nyamuk baru agar nanti kami bisa mengaji dengan nyaman tanpa ada gangguan apa pun.