Suara mesin molen bersahutan dengan sekop yang sedang memasukkan pasir ke dalam gerobak dorong berwarna merah. Para tukang bangunan bekerja dengan penuh semangat. Batu bata merah terlihat tersusun rapi di dekat pintu pagar. Banyak paku yang berjatuhan di depan bangunan kelas. Anak-anak dilarang keras pergi ke sana. Mandor tidak mau ada bocah yang harus dibawa lari ke mantri untuk diperban kakinya. Pembangunan gedung SMA benar-benar dikebut. Gedung itu ditargerkan akan rampung dalam beberapa bulan lagi.
Di tempat lain, anak-anak muda di kampung mulai disibukkan dengan sebuah benda baru yang bernama hp. Benda yang dulunya hanya kami lihat di televisi, sekarang sudah masuk ke kampung kami. Hp benar-benar sudah memainkan sebuah peran penting di dalam urusan membuat seseorang tampak keren dan berkelas. Hp perlahan mulai menyingkirkan fungsi surat, terutama surat cinta. Surat cinta hendak protes, tetapi pulpen dan lembaran kertas warna-warni memilih berlapang dada saja, katanya inilah perkembangan zaman yang tak mungkin untuk dilawan.
Keberadaan Hp ternyata tidak serta merta membuat anak-anak muda yang berduit itu senang. Mereka malah terlihat lebih murung dari biasanya. Sinyal di kampung kami sangat jelek, karena masih masa penjajakan, belum ada towernya. Malam minggu yang akan datang, anak-anak muda yang punya Hp diminta berkumpul di ujung kolam, di pos ronda, di depan SMP. Mereka akan membuat sebuah langkah darurat, sebuah misi pencarian sinyal yang masih malu-malu menampakkan wujudnya.
“Coba tulis di kertas ada berapa orang kita semua!?” titah pimpinan kelompok.
“Semuanya ada 6 orang, Bang!” sahut sekretaris kelompok.
“Baik, kita akan buat dua sektor. Masing-masing sektor akan diisi oleh tiga orang. Sektor pertama anggotanya Wahyu, Danil, dan Bahtiar. Sisanya masuk ke sektor dua. Misi kita adalah mencari sinyal. Untuk strateginya silakan atur sendiri. Kalian sudah tua, tidak seharusnya semuanya aku ajarkan.”
“Baik, Bang!”
“Laksanakan!”
Bertebaranlah anak-anak muda yang sedang dimabuk asmara itu. Wahyu dan Danil naik ke atas kubah Masjid, tetapi aksi mereka hanya berlangsung sesaat, mereka dipanggil oleh pengurus Masjid karena telah melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan. Bahtiar naik ke atas batang rumbia, tetapi aksi nekatnya itu tidak menghasilkan apa-apa selain tubuhnya yang memerah, karena diserang oleh segerombolan semut yang merasa terusik. Sekarang harapan hanya tersisa pada sektor kedua. Namun, ternyata hasilnya sama saja, mereka juga tidak kunjung menemukan jaringan.
“Untuk sementara kelompok ini saya bubarkan. Insya Allah lusa kita ketemu lagi di tempat biasa,” ujar ketua kelompok.
“Siap, Bang!”
“Laksanakan!”
Di teras rumah kami, Pak terlihat lebih ceria dari biasanya, beliau mendapatkan sebuah hadiah kecil dari Bang Ikhlas. Pak mendapatkan sebuah radio, lengkap dengan antenanya. Radio itu seolah-olah menjadi tempat baru bagi Pak untuk menghilangkan rasa capeknya yang berjam-jam menjaring ikan dan menangkap kepiting di sungai.
“Di sini Pak bisa dengar lagu apa saja yang Pak suka,” kata Bang Ikhlas.
“Lagu India?"
“Ada, Pak. Semua lagu ada. Lagu Aceh, Malaysia, Barat, semuanya ada.”
“Nging!!!!!” Radio tiba-tiba berdenging.
“Itu kenapa?” tanya Pak sembari berusaha memutar tuning.
“Itu antenanya ditiup angin, Pak!” Bang Ikhlas keluar dari kamar, pergi ke bawah batang rambutan, menatap ke atas, memegang batang rambutan, lalu memanjatnya.
“Sudah pas, Pak?” teriak Bang Ikhlas dari puncak tertinggi batang rambutan.
“Sedikit lagi!” balas Pak.
“Sudah, Pak?”
“Sudah!” Pak senang.
“Nging!!!”
“Sudah rusak lagi suaranya!” teriak Pak lagi. Beruntung Bang Ikhlas belum turun. Diputarnya lagi bambu tempat si antena terpasang.
“Sudah, Pak?”