“Sedekah itu ajaib, Tuhan akan melimpat gandakan apa yang kita berikan kepada orang lain.” Kata-kata Nek Halimah itu masih melekat erat di memoriku.
Benar, Tuhan akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Hari-hari paceklik yang sedang kami rasakan akhirnya berakhir juga. Hasil tangkapan Pak di sungai kembali normal seperti semula. Aku kembali sibuk pergi ke pasar untuk menjual ikan. Beras di dalam kaleng pun kali ini bukan sebambu dua bambu lagi, tetapi terisi penuh hingga sebagiannya lagi harus tetap dibiarkan di dalam karung. Bang Ikhlas yang membeli beras itu. Dia mendapatkan uang hadiah dari dokter puskesmas yang akhir-akhir ini sering kali ia temani.
“Alhamdulillah!” Mak berucap syukur.
Aku mangguk-mangguk berusaha memahami bahwa kekuatan doa dan sedekah itu memang nyata adanya.
Beberapa meter dari rumah kami, gedung SMA sedang dalam proses pemasangan atap. Anak-anak mulai membayangkan betapa macho-nya mereka memakai baju seragam putih abu-abu. Di sudut yang lain, para pemuda yang terbagi di dalam dua sektor pencarian sinyal itu sudah bisa sedikit bernafas lega. Akhirnya misi pencarian jaringan mereka berbuah hasil dengan catatan yang lumayan memuaskan ; tidak ada satu pun anggotanya yang terluka, baik luka berat maupun luka ringan.
Pak semakin betah saja duduk berlama-lama di teras setelah berjibaku mencari nafkah. Kali ini Pak hanyut di dalam sebuah lagu khas putra Aceh, seorang pemuda yang pernah tinggal di kampung kami, putra asli Aceh Selatan, Rafly namanya.
“Sayang-sayang leupah that sayang
Oh troh bak watee bungong pih mala
Ka habeh duroh bak tangke leukang
Keubit that sayang naseb Seulanga
Wahe bungong ceudah hana ban
Tamse nyak dara nyang canden rupa
Diteuka bana dijak peuayang
Uroe ngon malam bungong didoda....”
Suara khas Rafly yang melengking bisa menghipnotis siapa saja. Lagu yang sedang Pak dengar itu berjudul ‘Seulanga[1]’
“Kamu kenal sama orang yang sedang menyanyi itu, Mahir?” tanya Pak.
“Tidak, Pak.”
“Itu Rafli, beliau pernah mengajar di sini.”
“Sekarang di mana bapak itu, Pak?” tanyaku antusias karena ikut-ikutan merasa bangga.
“Di Banda Aceh, sudah jadi artis!” jawab Pak menerawang jauh membayangkan senyuman Rafly.
Di depan rumah, di seberang jalan, di samping lorong menuju ke SMP, SD dan SMA, pemuda-pemuda yang punya hp membuat barisan memanjang menghadap tiang listrik. Mereka persis seperti kaum ibuk-ibuk yang sedang mengantri paket sembako murah.
“Dengar baik-baik! Masing-masing kebagian jatah 5 menit. Usahakan jangan bergeser dari posisi yang sudah saya tanda, sinyal hanya ada di situ,” ujar ketua kelompok yang berdiri di luar garis antrian.
“Siap!”
“Laksanakan!”
Para anggota kelompok terlihat celingukan, gusar, tidak sabaran, melirik jam di tangan, melihat ke arah matahari, menekan-nekan tombol hp, menggoyang-goyangkan hp ke udara, dan memasang wajah cemburut karena menganggap menunggu 5 menit itu terlalu lama untuk ditunggu.
“Terserah kalian mau sms atau telpon, yang penting jangan korupsi waktu! Kalau habis pulsa, langsung bilang sama saya, voucher masih ada 4 lagi!” sambung ketua kelompok.
“Siap!”