Demi Tuhan baru kali ini aku makan apel, pir dan ayam kentucky. Rasanya sangat sulit aku gambarkan, yang pasti enak sekali. Sangking enaknya, tidak tega aku habiskan apel itu sekaligus. Aku memutuskan untuk memotongnya kecil-kecil, aku masukkan ke dalam cawan, lalu aku simpan di bawah tudung saji.
Seminggu sudah Kak Nur di kampung. Namun, dia masih saja mentertawakanku yang menangis terharu ketika menyambut kepulangannya.
“Kamu kalau nangis semakin jelek, Mahir!” Kak Nur menarik hidung mancungku.
“Mak! Kakak ganggu saya, Mak!”
“Nur! Jangan ganggu Mahir!” teriak Mak dari dapur. Menjadi anak bungsu selalu mendapatkan hak keistimewaan. Kalau ada sesuatu yang tidak beres, tinggal mengadu saja sama Mak atau Pak, maka semuanya akan menjadi baik-baik saja.
Sekarang waktu mainku semakin banyak tersita, di rumah ada beberapa pekerjaan yang harus aku kerjakan. Mak mendapatkan jeungki[1] dan mesin parut kelapa dari Nek Halimah. Semua benda-benda itu adalah peralatan yang sering Nek Halimah pakai sehari-hari. Namun, karena pertimbangan faktor usia dan kesehatan, Nek Halimah memutuskan memberikannya secara cuma-cuma untuk keluarga kami.
“Pakai saja, semoga bisa bermanfaat.” Begitu kata Nek Halimah.
Alhamdulillah Mak mendapatkan banyak orderan untuk membuat kopi, tepung dan minyak kelapa. Mak harus pintar-pintar mengatur waktu agar semua pekerjaan itu bisa diselesaikan pada waktu yang telah disepakati dengan pelanggan. Makanya untuk mempercepat proses itu semua, Mak sering mengajakku untuk membantunya.
“Bantu Mak! Nanti ada uang kita tabung buat beli sandal.”