“Sandal itu disimpan baik-baik, nanti waktu lebaran haji masih bisa dipakai lagi!” ujar Mak kepadaku yang lagi duduk di teras.
“Iya, Mak!” jawabku singkat. Rasanya tidak rela untuk segera menyimpan sandal Mirado berwarna biru bergaris putih itu di bawah dipan. Namun, perintah Mak tetaplah perintah yang tak mungkin sama sekali untuk dibantah.
Hari raya idul fitri usai sudah, sekarang harus kembali fokus untuk belajar dan membantu Mak dan Pak bekerja. Sekarang kesibukan Mak bertambah satu lagi. Mak memutuskan untuk menanam padi di sawah. Pergi ke sawah selalu menjadi salah satu aktifitas yang menyenangkan.
Sawah tempat kami menanam padi lumayan jauh dari rumah, kurang lebih berjarak 2 kilometer. Jalanan pergi ke sawah terlihat sangat asri, jalanan yang berkelok ke arah perbukitan, di samping jalan ada irigasi yang mengalir air jernih di dalamnya. Air-air itu datang dari arah bendungan untuk menyuplai kebutuhan para petani.
Jum’at 24 Desember 2004.
Selesai jum’at Mak mengajakku untuk pergi ke sawah. Ajakan dari Mak tentu saja langsung aku terima. Dengan menggunakan sepeda ontel tua yang bannya semakin menipis saja, kami menyusuri jalanan yang rindang. Aku duduk di belakang, Mak yang menggowes sepeda. Duduk di belakang seperti itu membuat memoriku bernostalgia sangat jauh. Dulu waktu aku masih belum sekolah, Mak sering memboncengku seperti itu. Uniknya, kakiku diikat dengan kain panjang, kata Mak biar kakiku tidak masuk ke jari-jari sepeda. Ah, kasih ibu memang luar biasa, wajar kalau surga ada di bawah telapak kakinya.
Di sawah, Mak langsung bergegas menuju ke gubuk untuk menyimpan bekal makanan dan minuman. Sejurus kemudian Mak mengambil sebuah plastik bekas yang sudah diikat pada sepotong kayu ; persis seperti bendera. Kertas plastik itu sesekali Mak kibar-kibarkan ke udara untuk membuat gerombolan burung pipit mengurungkan niatnya untuk memakan padi yang beberapa hari lagi akan dipanen.
Menyaksikan orang mengusir burung pipit antara asyik dan lucu. Di ujung sana, ada orang yang berteriak-teriak seperti Bruce lee yang sedang membuka jurus. “Syaaaa!” Burung pipit pun kembali terbang dan tidak jadi turun untuk mencuri padi.
Di tempat lain, ada juga orang yang menjerit-jerit seperti kerasukan syetan. “Haaaaaa!!!! Haaaa!!Haaaaa!!” Burung pipit kesal. Semua manusia bersikap tidak bersahabat, tidak bisa diajak kompromi.
Di gubuk yang lain, terlihat juga seorang nenek tua yang sedang menarik-narik seutas tali. Tali itu menjuntai cukup jauh, ujung tali diikat pada sepotong kayu yang ditancapkan ke tanah, di sana tergantung kaleng susu bekas yang diisi dengan beberapa batu kecil. “Gruk!!!Gruk!!!Gruk!!!” Begitu bunyi dari kaleng itu ketika talinya ditarik-tarik.