Suara anak-anak yang mengaji memecah kesunyian malam. Risfan mengaji dengan suara sekencang-kencangnya. Urat lehernya terlihat jelas. Sesekali Risfan terbatuk-batuk karena tenggorokannya mulai mengering.
“Risfan! Pelankan suaranya, Nak!” Nek Halimah menegur cucunya.
Nek Halimah duduk persis di sampingku. Tangan keriputnya diletakkan di atas lututku yang duduk bersila di depan Al-Qur’an yang berada di atas rekal. Dengan bantuan kaca matanya, Nek Halimah fokus mengikuti barisan ayat Al-Qur’an yang aku bacakan dengan suara merdu dan berirama.
Pemandangan kontras terjadi di sebelah kanan aku duduk. Adi yang mengenakan jersey bola Liverpool dengan nama Owen di bagian belakangnya, tampak sangat lemas membuka mulut dan matanya untuk menatap Iqra' yang sudah menua di makan usia.
Suara keras Adi dan semangatnya di saat bermain tidak ia tularkan sama sekali ketika dia berhadapan dengan Iqra’ nya yang sudah menipis karena terkena tusukan ujung lidi sebagai penunjuk bacaannya. Adi jelas kalah jauh denganku dan Risfan yang sudah berada satu level dengan santri lain yang sudah lancar membaca Al-Qur’an dan kitab masailal ; sebuah kitab menggunakan bahasa melayu jawi dengan metode tanya jawab. Kitab itu menurutku sangat mudah untuk dipahami.
Sorot mata Nek Halimah mengarah kepada Adi yang sudah dikuasai oleh rasa ngantuknya yang teramat dalam. Namun, Adi tidak peduli, lidi di tangannya tampak berkali-kali terjatuh ke bagian tengah Iqra’ miliknya.
“Adi!!!” Nek Halimah memanggilnya sambil memukul pelan lantai rumah. Sontak Adi kaget. Seluruh mata santri tertuju padanya. Kami semua tersenyum melihat tingkah Adi yang belum ada tanda-tanda perubahannya.
Merasa diperhatikan, Adi memperbaiki posisi duduknya. Ia mencoba kembali membaca Iqra’ meskipun sebenarnya ia tidak tahu apa yang sedang ia bacakan. Adi bergaya seakan-akan tidak diserang rasa ngantuk. Adi berusaha menipu diri sendiri dan kami semua.
“Adi!!” Nek Halimah kembali memanggil namanya.
“Ia, Nek!” Adi menjawab lesu sambil membuka lebar-lebar matanya yang sudah memerah.
“Nenek heran sama kamu. Ketika sudah waktu ngaji kamu pasti ngantuk. Ambil wudhu cepat!” Di dalam keadaan setengah sadar, Adi bangun dari duduknya, mengangkat tinggi-tinggi sarungnya hingga kedua betis putihnya terlihat dengan jelas.