26 Desember 2004
Dari salah satu rumah warga terdengar sayup-sayup suara tape recorder yang sedang memutar lagu yang berjudul aneuk yatim.
“Jino lon kisah saboh riwayat.
Kisah baro that, baro that di Aceh raya.
Lam karu Aceh, Aceh timu ngon barat ngon barat
Di saboh tempat, tempat meuno calitra
Na sidroe aneuk jimo siat at
Lam jeut-jeut saat, saat dua ngon poma
Ditanyong bak mak bak mak ayah jino pat, jino pat
Ilon rindu that, rindu that, keuneuk eu rupa.”
Sebuah lagu dari Rafly yang menceritakan seorang anak yang menanyakan keberadaan ayahnya kepada sang ibu. Sebuah lagu yang sangat menguras emosi, sebuah lagu tentang anak yatim.
***
Mak sedang memasak dengan Kak Nur. Pak beberapa jam yang lalu sudah pergi ke sungai untuk mencari rezeki. Di jalanan di depan rumah, terlihat orang-orang beraktifitas di pagi minggu mereka.
“Gruk!” Tiba-tiba ada geteran yang terasa begitu kuat.
“Gruk!” Bumi kembali bergetar. Kaca rumah seperti hendak pecah. Atap dari seng seolah-olah menjerit ketakutan.
“Gempa, Nur! Gempa! Siram apinya. Lari keluar!” Terdengar suara teriakan Mak Panik.
“Lari! Lari ke keluar, cepat!” Mak menarik tangan Kak Nur dan tanganku bersamaan.
Tergopoh-gopoh kami menuju ke halaman. Gempa semakin terasa kuat. Tanah seolah-olah bergelombang tidak menentu.
Di halaman rumah, kami duduk berangkulan di bawah batang jambu. Suasana benar-benar sangat menegangkan. Tiang listrik seakan-akan hendak rubuh. Kabelnya terayun-ayun tidak karuan. Mobil yang sedang melintas, sekonyong-konyong berhenti. Gempa belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
“Berzikir Nur! Berzikir, Nak!” Mak memelukku dan Kak Nur. Kami tidak sempat memperhatikan orang lain yang sedang dilanda perasaan yang sama ; takut, panik dan bingung yang menjadi satu.
Di langit, awan biru seakan-akan bergerak begitu cepat memberi isyarat tidak baik.
“Ya, Allah! Ya, Tuhanku! Ampuni kamo[1] ya Allah!” suara Mak semakin lama semakin layu. Bibir Mak berubah pucat. Pikirannya berkecamuk. Mak teringat Bang Ikhlas, entah di mana keberadaannya. Mak juga teringat Pak di sungai. Mak takut sampan Pak terbalik karena air sungai yang tiba-tiba terombang-ambing.
Sepuluh menit kemudian. Suasana yang sempat hening mendadak menjadi heboh. Ada sebuah kabar yang mengejutkan datang dari pasar, katanya jembatan besi penghubung Meulaboh dan Banda Aceh yang ada di kampung kami sudah roboh. Kabar itu masih terdengar simpang siur. Ada yang bilang jembatannya miring ke kiri. Ada yang bilang miring ke kanan. Ada yang menyebutkan jembatannya patah tiga, patah empat, patah lima dan seterusnya. Harap dimaklumi, namanya saja kabar burung.
Karena dihinggapi oleh rasa penasaran yang cukup hebat, orang-orang berbondong-bondong mendatangi jembatan. Sialnya, aku malah ikut-ikutan ingin mengetahui kondisi jembatan jalanan nasional itu. Namun, aku tidak bisa langsung pergi ke sana, aku harus meminta izin dulu kepada Mak. Aku takut dimarahi jika meninggalkan rumah begitu saja seperti anak sapi yang tega meninggalkan induknya seorang diri di kandang.
“Mak! Saya pergi lihat jembatan boleh?”