Apa yang aku harapkan? Sederhana sekali jawabnya, aku berharap Mak, Pak dan Kak Nur kembali lagi. Namun, penantian itu sama sekali tidak membuahkan hasil. Mak, Pak dan Kak Nur tak kunjung datang. Aku tinggal di sebuah rumah warga di dekat perbukitan, rumah saudara jauh kami. Saban hari aku duduk di pinggir jalan yang ada irigasinya. Di sana aku selalu melihat orang-orang yang berekspresi sama ; sedih, murung, kumuh, penuh duka, dan lesu tak berdaya.
Tempat kami benar-benar terisolir. Semua jalan putus. Tidak ada bantuan yang datang. Kami terpaksa makan apa saja yang masih tersisa.
“Gruk!” Gempa susulan sering terjadi. Tiang listrik dan batang pinang bergoyang secara bersamaan.
Bang Ikhlas setiap hari turun ke pesisir. Dia selalu berjanji dengan janji yang sama kepadaku. Katanya dia akan membawa pulang Mak, Pak dan Kak Nur. Namun, hasilnya selalu sama. Bang Ikhlas hanya pulang membawa beras basah sisa Tsunami untuk dijemur sebagai bekal selama bantuan belum juga datang.
***
Harapanku musnah, gedung-gedung sekolah tempat aku menggantungkan mimpi telah resmi menjadi kenangan dan sejarah.
Tanpa sepengetahuan Bang Ikhlas dan pemilik rumah. Aku pergi turun ke pesisir untuk pulang kampung. Aku kangen Mak, Pak dan Kak Nur. Aku penasaran sekali bagaimana wajah kampungku sekarang.
Berjalan kaki 5 kilomter itu ternyata tidaklah mudah. Medannya sangat rumit, berlumpur, banyak papan berpaku sisa bangunan, tumpukan sampah, tumpukan perabotan rumah tangga, kayu-kayu besar yang jatuh ke badan jalan, dan tentu saja mayat-mayat korban Tsunami yang beragam rupa ; ada yang sudah membengkak, tangannya seperti orang minta tolong, lehernya putus, tersangkut di atas pohon, tertindih tembok, berlumuran lumpur, dan mengambang di irigasi.
Setiap kali aku bertemu dengan orang yang sedang menggotong jenazah, aku selalu berusaha memberanikan diri untuk bertanya, jenazah siapa yang sedang mereka bawa. Namun, jawaban yang aku inginkan selalu tidak kesampaian. Nama Mak, Pak dan Kak Nur tidak kunjung juga aku dengarkan.