SAYAP-SAYAP DOA

Fendi Hamid
Chapter #22

"Sebuah Keputusan"

Dua bulan berlalu begitu saja. Kakak-kakak relawan dua hari lagi akan berakhir tugasnya di kampung kami. Sebenarnya aku belum rela melepaskan mereka pergi. Namun, inilah kenyataan kehidupan yang harus diterima dengan lapang dada. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan.

Aktifitas belajar mengajar di tenda benar-benar tidak efektif. Di dalam seminggu, kadang-kadang kami hanya sekolah dua sampai tiga hari saja. Banyak kendala dan alasan yang membuat itu semua terjadi. Kami semua harus memakluminya, karena ini adalah keadaan ; bukan kesengajaan untuk menciptakan kebodohan seperti yang sering dipertontonkan di dalam peperangan.

Akhir-akhir ini aku sering sekali melihat Bang Ikhlas berdialog dengan kakak-kakak relawan. Mereka tampak sangat serius. Bahkan tidak jarang mereka berbincang-bincang hingga larut malam.

“Saya tidak tau harus menjawab apa, tanyakan saja sama Mahir!” ujar Bang Ikhlas yang duduk di atas batang kelapa yang sudah tumbang di depan tenda.

Pagi-pagi sekali, Kak Agus membangunkanku yang tertidur lelap di sudut tenda, di tengah tumpukan snack, susu, mi instan dan air mineral.

“Mahir! Bangun! Shalat shubuh dulu!”

“Iya, Kak!” Aku langsung bangun, karena dali dulu aku terkenal sebagai anak yang tidak susah untuk dibangunkan.

Selesai shalat shubuh dan membaca Al-Qur’an. Kak Agus menghampiriku yang sedang bermain-main dengan lilin di dalam tenda.

“Mahir!”

“Iya, Kak!”

“Kakak mau pulang ke Jakarta, kamu mau ikut nggak?” tanya Kak Agus yang duduk di sampingku.

Tidak ada jawaban yang bisa aku berikan. Ini pertanyaan berat sekali. Jakarta itu jauh. Aku harus berhati-hati untuk mengatakan iya.

“Nanti kamu sekolah di sana!” sambung Kak Agus lagi untuk meyakinkan aku.

“Nggak tau, Kak!” Aku menggaruk-garukkan kepala, bingung.

“Kakak sudah ngomong sama Bang Ikhlas. Bang Ikhlas katanya boleh, sekarang semuanya tergantung sama Mahir.”

“Nanti Mahir bilang sama kakak. Mahir takut tidak ada kawan di sana.”

Kak Agus tersenyum.

“Ya, Sudah. Kakak tunggu jawabannya. Jangan lama-lama ya!”

“Iya, Kak.”

***

Keputusannya aku mau pergi ke Jakarta, tetapi ada syaratnya.

Lihat selengkapnya