Perjalanan ke Medan kami tempuh menggunakan mobil Elf. Kami berangkat selepas magrib. Sepanjang perjalanan, Opick tidak berhenti bernyanyi, untung saja bukan penyanyi aslinya, hanya sebuah kaset tape recorder. Alhamdulillah, perjalan kali ini aku tidak mengalami mabuk darat. Aku sudah minum antimo dan memasang koyok di pusar.
Jam 6 pagi, kami sudah berada di kota Medan. Kami akan pulang ke kantor Dewan Dakwah terlebih dahulu. Rencananya kami akan bertolak ke Jakarta keesokan harinya. Artinya, lumayan panjang waktu di kota Medan. Kami bisa berkeliling melihat salah kota besar yang ada di Indonesia itu.
Kakak-kakak relawan membawaku ke mall. Demi Allah, baru kali ini aku melihat mall sebesar itu. Mataku tertarik sekali melihat eskalator yang di atasnya berdiri orang-orang yang hendak turun dan naik ke lantai yang berbeda. Di sana kakak-kakak relawan membelikanku beberapa pasang baju dan celana untuk mengisi ranselku yang dipenuhi oleh baju bekas yang aku ambil dari tumpukan baju bantuan untuk para korban Tsunami yang ada di samping lapangan bola.
Kakak-kakak relawan juga sempat menawarkanku sebuah sandal baru, tetapi aku menolaknya, karena sandal yang aku pakai masih sangat bagus dan merupakan sandal yang penuh kenagan dengan Mak yang hari ini keberadaannya entah di mana.
***
Kalian masih ingat ketika aku mengatakan tidak mau membayangkan Jakarta seperti apa? Itu ternyata hanyalah sebuah prediksi anak kecil yang polos. Rencana Tuhan berbeda. Jika Tuhan mengatakan terjadi, maka terjadilah. Keajaiban doa mulai menunjukkan pesonanya. Kata-kata Nek Halimah ternyata benar. Kekuatan doa itu besar. Doa itu bersayap, bisa terbang tinggi menuju angkasa, membelah segala benteng kemustahilan yang ada.