Di sebuah gedung bertingkat di jalan kramat raya Jakarta Pusat, ada ribuan orang di sana yang sedang menghadiri seminar. Mereka terlihat sangat rapi, bersih, wangi, dan berwibawa. Kami yang baru datang, karena terjebak macet langsung mengambil tempat di kursi yang masih kosong. Dua puluh menit kemudian acara seminar sudah selesai. Namun, para hadirin diminta untuk tetap bertahan di tempat duduk masing-masing.
“Alhamdulillah di tengah-tengah kita sudah hadir puluhan relawan yang baru pulang dari Aceh. Mereka membawa oleh-oleh spesial untuk kita semua. Mereka membawa satu anak korban Tsunami Aceh yang kedua orangtuanya sampai detik ini belum ditemukan juga.” Suara pembawa acara menggema. Kamera menyorot ke arahku. Wajahku sekarang terlihat di dua layar lebar yang terpasang di depan. Orang-orang celingukan dan bertanya-tanya di mana aku duduk.
“Untuk mengetahui cerita lengkapnya ketika Tsunami Aceh, langsung saja kita persilakan Mahir untuk maju ke depan!” ujar pembawa acara lagi. “Tolong para Ustadz didampingi untuk maju ke depan!”
Dengan langkah ragu-ragu aku mengayunkan langkah kaki menuju ke podium, aku ditemani oleh Ustadz Imam, Ustadz Misbah, Kak Agus dan Kak Iman. Aku memakai baju koko putih, celana hitam dan tentu saja sandal kesayanganku, sandal penuh kenangan, sandal Mirado biru bergaris putih.
“Silakan beri salamnya!” bisik Kak Agus setelah menurunkan sedikit mic.
“Jangan takut, Mahir!” Ustadz Misbah berkelakar. Efeknya lumayan bagus, keraguan dan kepanikan sedikit menguap, tersangkut di plafon ruangan.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakuh!” Aku memberi salam dengan suara gemetaran.