Di tengah-tengah perumahan Papan Mas, di belakang asrama, di sana ada sebuah sekolah Mts swasta. Nama asli sekolah itu adalah Al-Khairiyah, tetapi nama populernya adalah shacha. Sumpah aku tidak tahu apa itu shacha dan angka 281 yang mengikuti di belakangnya. Aku akan melanjutkan sekolah di sana. Pihak sekolah tidak keberatan aku tidak membawa perlengkapan administrasi apa-apa.
Hari pertama sekolah aku langsung diantarkan oleh Ustadz Ihsan. Sepanjang perjalanan, aku melihat banyak sekali mural shacha di tembok-tembok tak berdosa apa-apa. Tulisan shacha itu persis seperti hantu, di mana-mana ada dia, di bangku ada, di dinding kantin juga ada, di sepatu juga tidak lupa, di meja, di kursi, hingga di gerobak ketoprak yang sering mangkal di depan sekolah.
Hari pertama sekolah di sini ternyata lebih aneh lagi di saat aku pertama sekolah di MIN dulu. Aku benar-benar diperlakukan dengan spesial. Kepala sekolah yang biasanya tidak pernah masuk ke kelas, hari itu memutuskan untuk mengajar di kelas yang baru aku tempati beberapa menit yang lalu.
“Sekarang di tengah-tengah kita ada siswa baru dari Aceh,” ujar kepala sekolah dengan suara tegas. “Mahir! Maju ke depan!” pintanya tersenyum.
Dengan langkah malu-malu, aku meninggalkan tempat dudukku, berdiri di depan papan tulis, di samping Pak Herman yang memakai kemeja biru berlengan panjang.
“Di Aceh terkenal dengan syariat Islamnya. Coba kamu ceramah sedikit!” ujar Pak Herman menatapku lekat.