Kata-kata Mak terngiang di ingatan, "Jangan pernah takut memberi. Tuhan akan membalas dengan cara yang tidak disangka-sangka.”
Musim berganti lagi, hujan kembali datang. Bekasi yang panas menjadi teduh. Debu yang beberapa hari terakhir mengepul kejam, kini telah tenggelam bergabung menjadi tanah liat. Dengan menggunakan payung, jas hujan dan mantel, orang-orang terlihat lalu-lalang di depan Masjid. Komplek tempat aku tinggal ini terbuka untuk siapa saja. Masyarakat sekitar bebas melintas di sana untuk berangkat kerja, pergi ke pasar atau sekedar mau jalan-jalan ke mall untuk mencuci mata, karena mata tidak bisa dicuci dengan air di dalam bak mandi.
Di asrama, para santri dibenarkan memakai walkman, dengan catatan hanya boleh mendengar murottal lantunan ayat suci Al-Qur’an dan lagu-lagu nasyid yang bernuansa islami. Peraturan yang mengatur penggunaan walkman adalah salah satu peraturan yang dikawal ketat, karena beberapa santri pernah kedapatan sedang mendengar lagu pop dan dangdut koplo.
Hari ini, Asep mengajakku pergi ke pasar Tambun. Asep merupakan santri asli dari Painan, Sumatera Barat, bukan dari Garut atau dari wilayah sunda lainnya.
“Mahir!”
“Iya, Sep!”
“Lo sudah pernah ke pasar Tambun?”
“Belum, Sep!”
“Kita pergi ke sana yuk!”
“Kapan?”
“Sekarang!”
“Gua nggak berani minta izin sama ustadz.” Aku sudah mulai terbiasa dengan gaya bahasa anak-anak di sini. Namun, penggunaan bahasa gaul seperti itu hanya untuk sesama teman saja. Berani ngomong seperti itu di depan ustadz, maka tunggu saja hukuman yang akan menimpa.