SAYAP-SAYAP DOA

Fendi Hamid
Chapter #29

"Surat Dari Kampung"

Jam satu siang. Aku yang baru pulang sekolah langsung pergi ke Masjid untuk melaksanakan Shalat Zuhur.

Setelah melaksanakan shalat, aku bergegas ke dapur untuk makan siang. Masing-masing santri sudah memiliki jatah makan yang disimpan di dalam lemari. Aku mencari piring nomor 21, piring milikku, piring besar seperti piring di dalam penjara, piring bersegi 4 yang ada sekat-sekatnya. Kali ini lauknya sangat sederhana ; sepotong ikan tongkol, sayur kol dan sedikit sambal.

Setelah makan siang, aku pergi ke ruang tamu untuk membaca koran, karena tadi pagi aku buru-buru ke sekolah sehingga aku tidak sempat membaca koran yang sudah menjadi salah satu rutinitas baruku untuk menambah wawasan dan pengetahuan. 

Seperti sebuah aturan yang tidak tertulis. Setiap aku membawa koran, aku selalu membuka rubrik Nasional terlebih dahulu. Aku mencari foto dari Aceh untuk aku jadikan kliping. Hari ini tidak ada foto dari Aceh yang dimuat di sana. Aku melanjutkan ke halaman berikutnya, aku mencari berita sepakbola.

Berita bolanya hari ini tidak terlalu bagus. Di sana tidak ada berita tentang Chelsea klub yang aku idolakan. Aku menyangkut koran kembali pada raknya. Berlari melewati tangga menuju kamar di lantai dua asrama untuk tidur siang sembari menunggu Muazzin mengumandangkan azan ashar.

Di dalam kamar, aku mengganti pakaian sekolah ku dengan kaos bola Chelsea yang tergantung di belakang pintu. Aku mengambil Walkman dan Headset di lemari untuk mendengar murottal Al-Qur’an untuk mempertajam hafalan surah An-Naba yang aku hafal tadi setelah shalat shubuh bersama guru hafiz kami yang bernama Kak Aswan. Belum sempat aku merebahkan badan dan memasukkan headset ke lubang telinga. Tiba-tiba suara bocah perempuan kelas dua SD memanggil-manggil namaku di lorong kamar.

“Kak Mahir! Kak!”

Bocah itu dengan seenaknya masuk ke dalam kamar. Mendorong pintu keras-keras hingga terbentur dengan tiang ranjang tempat aku tidur.

Ternyata itu Rauzana, anak Ustadz Ihsan. Wajah Rauzana imut, kulitnya putih, hidungnya mancung. Banyak orang yang memprediksi Rauzana akan semakin cantik jika kelak sudah beranjak dewasa. Rauzana kecil sangat tomboy, dia menggunakan baju kaos putih bergambar Dora dengan celana pendek selutut.

“Kak Mahir bangun! Jangan tidur setiap hari. Ada surat nih! Tadi pak pos anter.” Rauzana tomboy menimpukku dengan buku yang ada di atas lemari. Tingkahnya usil sekali, dia mendekatiku dan mematikan walkman-ku.

“Coba kakak lihat, surat apa?” Aku bangun dari posisi tidurku.

“Nih, nggak tau Rauzana. Udah kak ya! Rauzana turun dulu, nanti ayah marah.”

Lihat selengkapnya