“Ini buat lo, ambil saja, nggak usah bayar!”
“Tapi, Pak!?”
“Sudah ambil saja!” pria bermata sipit itu tersenyum menyerahkan beberapa buku tulis untukku.
Aku jadi tidak enak, sudah sering sekali beliau menolak bayaran ketika aku membeli sesuatu di usaha fotocopy-nya.
“Tadi shubuh suara azannya bagus banget. Siapa yang azan? anak Darul Aitam bukan?” tanya bapak itu lagi untuk mencairkan suasana.
“Bukan, Pak. Itu suara Mahasiswa dari Ambon.”
“Bagus banget suaranya.”
“Iya, Pak! Merdu banget.”
Hidup kami benar-benar sangat toleransi. Pria keturunan Tionghoa itu adalah pemeluk agama kristen yang taat. Kami tidak pernah mempermasalahkan perbedaan keyakinan di antara kami. Kami tetap bersaudara di dalam bingkai keindahan Pancasila.
Tidak terasa aku baru saja menyelesaikan Pendidikan di MTs Al-Khairiyah. Sekarang aku baru paham makna di balik tulisan Shacha 281 itu. Shacha dibaca saka, singkatan dari sekolah kampung. Angka 2 melambangkan banyaknya kamar mandi dan wc di sekolah itu. Angka 8 menunjukkan jumlah ruangan kelas. Dan angka 1 seolah-olah memberitahu bahwa Mts Al-Khairiyah hanya memiliki satu ruang untuk guru dan tempat untuk segala keperluan administrasinya. Ada-ada saja.
Sempat dilanda dilema ketika memutuskan untuk melanjutkan sekolah di mana. Aku sebenarnya mau sekali melanjutkan ke MAN, tujuannya biar segaris dengan MIN dan emsen. Namun, aku tidak berani pergi ke MAN sendirian, semua teman-temanku sekolah di SMK. Aku tidak mau mengambil resiko naik angkot tidak ada yang menemani. Aku khawatir akan jadi korban dari kebiasaan beberapa oknum pelajar yang masih suka terlibat tawuran.