Setelah melewati ujian yang menegangkan, akhirnya detik-detik yang menentukan itu datang juga. Pihak sekolah membuat sebuah inisiatif baru untuk pengumuman pasca ujian nasional. Pihak sekolah tidak memasang hasil ujian di mading sekolah. Pengumumannya akan dikirim langsung ke rumah para siswa. Tujuannya sangat bagus, pihak sekolah tidak mau ada tawuran yang pecah di saat para siswa melakukan konvoi perayaan kelulusan di jalan-jalan raya.
“Pantau di wilayah Bulak Kapal dan Gedung Juang Tambun. Kalau terlihat ada anak-anak kita di sana, bubarkan! Suruh mereka pulang, jangan sampai ada yang mati konyol tidak ada manfaat apa-apa.” Begitu kata kepala sekolah kami yang berkulit putih dan berjenggot tebal kepada seluruh dewan guru di kantor.
Setelah zuhur, di gerbang komplek tempat aku tinggal, terlihat Pak Fikri datang dengan motor astrea grand-nya. Pak Fikri memakai pakaian muslim yang berwarna serba putih. Pak Fikri langsung menemui Ustadz Ihsan yang kebetulan lagi libur dari aktifitas mengajar dan mengisi pengajian di beberapa Masjid yang ada di daerah Bekasi dan Jakarta.
Setelah sempat berbincang-bincang hangat dengan Ustadz Ihsan, Pak Fikri langsung berpamitan pulang.
“Satria! Tolong panggil Dayat, Mahir dan Miral sebentar!” titah Ustadz Ihsan kepada santri paling junior yang sedang melihat gambar di koran.
Dari lorong asrama terdengar Satria memanggil-manggil nama kami. “Yat, Mahir, Miral, dipanggil sama Ustadz. Cepat!”
Aku dan Dayat yang lagi sibuk membolak balik koran Topskor menggelinjang turun menemui
Ustadz Ihsan.
“Ada apa, Tadz?” tanya Dayat.
“Apa, Yat! Coba ulang sekali lagi!” Ustadz Ihsan mengintip dari balik kacamatanya.
“Hehehe. Maaf, Tadz!”
Ustadz Ihsan tersengih. Sudah capek beliau ingatkan Dayat untuk tidak memangginya dengan singkatan ‘Tadz’. Tetapi Dayat tidak juga berubah.
“Miral mana?” tanya Ustadz.