Bang ikhlas tersesat di dalam sebuah taman yang dipenuhi oleh bunga dan buah-buahan. Berulang kali Bang Ikhlas berusaha untuk membuka lebar-lebar matanya. Namun, ia tidak pernah bisa. Pancaran cahaya yang datang dari arah bukit yang ada air terjunnya seolah-olah tidak tercipta untuk penduduk bumi yang berlumuran noda dan dosa.
Dari sebelah barat yang ada permadani bidadari, sosok yang tidak asing di mata Bang Ikhlas terlihat duduk di sana. Dayang-dayang rupawan yang memegang kipas yang terbuat dari emas dan perak dari tadi asyik tertawa dan tersenyum menggoda. Bang Ikhlas yang sudah lama mencari Mak kegirangan senang. Tergopoh-gopoh ia mendekati permadani itu. Bang Ikhlas tidak sadar bahwa dua dimensi berbeda tidak pernah bisa untuk disatukan menjadi satu.
“Mak! Mak!”
Malang, Mak tidak mendengar. Para dayang kembali tersenyum dengan gelas-gelas kaca berisi anggur terbaik di tangannya. Mereka seolah-olah cuek dan tidak peduli dengan kehadiran Bang Ikhlas di sana.
“Mak!” Bang Ikhlas mencoba memanggil sekali lagi.
Hasilnya malah lebih buruk, Mak dan para dayang hilang tanpa jejak ; persis seperti Mak hilang waktu Tsunami dulu.
“Mak! Tolong jangan pergi lagi! Tolong, Mak!” rintih Bang Ikhlas perih. Matanya sembab. Bibirnya bergetar.
“Pulanglah, Nak! Mak sudah nyaman di sini. Tolong jaga Mahir, bantu dia untuk mewujudkan mimpinya!” Entah dari mana suara itu berasal. Namun, terdengar nyaring sekali.
Alarm jam berdering. “Gring!!! Gring!!! Gring!!!”
Bang Ikhlas terbangun dari tidurnya. “Astaghfirullah!” Ternyata ini hanya sebuah mimpi. Mimpi yang membuatnya bertanya-tanya di sepanjang sisa hari.
***