Kali ini aku harus memilih jurusan dengan sangat teliti, aku tidak mau salah untuk kedua kalinya seperti aku pertama kali masuk ke SMK Al-Muhadjirin dulu. Aku akan memilih jurusan yang sama sekali tidak ada pelajaran hitung-hitungannya, aku akan memanfaatkan kemampuan nalarku, karena di sanalah salah satu letak kemampuan terbaikku.
Setelah menimbang-nimbang antara jurusan Bimbingan Konseling dan jurusan pendidikan agama Islam, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil jurusan yang masih dianggap kalangan awam sebagai jurusan calon tenaga pendidik yang galak dan ahli menangani siswa yang bermasalah. Alasanku memilih jurusan yang biasa disingkat dengan BK itu sangat sederhana, aku jatuh cinta kepada jurusan Bimbingan Konseling di saat Pak Fikri tidak memberikan hukuman dari pelanggaran yang aku sengajai agar aku ditendang dengan cara yang tidak patut.
Di awal masa kuliah di UIN Ar-Raniry Banda Aceh, aku tidak mengalami masalah yang berarti. Hanya beberapa teman baruku yang mengira aku adalah orang Jawa, karena bahasa Indonesiaku yang sudah tidak terlihat lagi logat Acehnya.
“Kamu orang mana?” tanya Erman.
“Orang Panga, Aceh Jaya. Kenapa?”
“Cara kamu ngomong beda kali. Tidak pernah dengar aku.”
“Panena[1] sama saja.”