Untung ada uang lima ribu lagi yang terselip di dalam saku celana. Lumayan, aku masih bisa pergi ke kost untuk meminta pemiliknya memberi sedikit lagi waktu untukku menyelesaikan masalah ini semua.
“Heh! Kah[1] dengar ya! Ini kesempatan terakhir, besok jam 2 barang-barang kamu sudah tidak ada lagi di sini. Kost ini sudah ada yang sewa, jangan sampai mereka pergi gara-gara kamu.” Ibuk-ibuk berdaster itu berdiri mencekak pinggang, menatapku garang.
“Iya, Buk. Insya Allah besok barang-barangnya akan saya pindahin!” jawabku lesu.
Jam 3, aku kembali ke Musholla. Uang di saku tinggal seribu lagi. Aku tidak bisa makan malam. Uang itu aku simpan untuk membeli sepotong roti besok pagi sebagai bekal sebelum masuk ke kelas untuk belajar. Selepas Isya, aku langsung memutuskan untuk tidur, meringkuk seperti malam kemarin. Aku tidak menghubungi satu pun teman di kampus. Aku tidak mau meminta belas kasihan dari mereka. Aku ingat kata Mak “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”
Keesokan harinya, di kampus. Salah satu anak penghuni bangku belakang yang gemar datang telat menghampiriku.
“Mahir!” Pria berambut pendek itu memanggilku.
“Iya, Nanda. Bagaimana?”
“Boleh minta tolong nggak?”
“Boleh. Mau aku buatin makalah lagi, ya? Mana bahan sama laptopnya biar aku kerjain!?”
“Itu iya juga, tapi ini masalah lain. Masalah lebih serius.”
“Maksudnya?”
“Kamu mau nggak tinggal sama aku? Aku bosan tinggal di kost sendirian.”
“Maaf, bukannya aku nggak mau, tapi aku lagi nggak ada duit.”
“Kamu nggak perlu mikirin duit. Semuanya aku yang bayarin.”