“Sakit hati aku. Sumpah, sakit kali hati ini. Sikit pun tidak aku maafkan orang berperangai macam syetan itu!” Nasrul meludah kencang, tangannya mengepal keras, “Dham!” Dinding tak salah pun harus meringis kesakitan.
“Mungkin ini sudah nasib kita, Rul. Jangan marah-marah lagi!” ujar Bang Ikhlas yang sedang berupaya mengendalikan diri.
“Palak kali aku. Mau sampai kapan seperti ini terus?”
“Percuma kamu marah-marah, Rul. Sampai kucing tumbuh tanduk pun NIP kita tidak akan kembali lagi.”
“Kecewa kali aku pokoknya. Puluhan tahun kita jadi honorer. Puluhan tahun kita menunggu pemutihan seperti ini. NIP yang sudah ada di depan mata malah dirampas sama siluman sialan itu, semuanya berantakan.” Nasrul mengeluarkan rokok dari saku celana, memukul-mukul pantat bungkus rokok ke telapak tangan kiri. Gelagapan dia meraba-raba saku celana dan kemeja panjangnya. “Ada korek, Las?”
“Coba kamu lihat di atas lemari! Bek[1] panik!”
Nasrul melangkah ke dekat lemari. Meraih korek yang tergeletak di sana.