Wajahnya berkerut seperti jeruk purut. Berkali-kali dia menjerit-jerit tidak jelas, membentur-benturkan kepala ke tembok.
“Kenapa kamu? Sudah habis obat ya?” tanyaku bingung.
“Jangan bercanda dulu, Mahir! Galau kali aku.”
“Hmmm. Kenapa lagi si Cut Dian?” Aku mendekati stop kontak, mencolok colokan kipas angin, menekan tombol nomor tiga. Matahari di luar sepertinya tidak mengerti kalau Nanda lagi kepanasan.
“Aku berjanji tidak akan mendekati Cut Dian lagi!” ujar Nanda sambil merebahkan badannya ke atas kasur, menatap langit-langit kamar, mencoba menimbang-nimbang kembali keputusannya barusan. Nanda adalah satu-satunya manusia yang paling tidak konsisten yang pernah aku temui. Kalau sifatnya tidak diubah, mungkin dia akan kesulitan mendapatkan inong[1].
“Heh! Seandainya kamu bukan kawan akrab aku, mungkin sudah aku lakban mulut kamu itu. Muak aku dengar janji kamu.” Aku menarik gorden jendela. Kasihan kamar ini kekurangan vitamin D.
“Kali ini serius aku.” Nanda bangun dari posisi rebahannya. “Hari ini Cut Dian ulang tahun. Tadi pagi aku pergi ke kost dia, mau kasih kejutan. Eh, malah aku yang terkejut.”
“Maksudnya?” Aku duduk di samping Nanda. Mengambil hp yang tercolok di charger. Telunjukku bergerak membentuk huruf Z, membuka pola.
“Tadi ada Heri di sana, mereka mersa kali, lagi tiup lilin.”
“Waduh. Kamu serius?” Aku tersenyum. Aku tidak bisa berpura-pura respect dengan keadaan yang sedang menimpa Nanda.
“Sudah ah, malas aku cerita sama kamu. Keluar yak!” Nanda berdiri, melangkah dua langkah, membuka lemari, mengambil sepasang baju yang baru dilaundry kemarin.
“Ke mana kita?” Aku menutup jendela, menarik gorden, mematikan kipas angin, dan mengoles sedikit parfum malaikat shubuh di kemeja hitam yang aku pakai.
***
Dari arah Lambaro Skep, kami bergerak ke arah pusat kota. Kami berjalan tanpa tujuan, kami akan singgah di mana saja yang kami mau ; aku rasa kalian juga pernah melakukan hal sebodoh itu. Kota kecil ini terlihat begitu bersahaja, indah, ramah, rapi dan penuh dengan sejarahnya. Warung-warung kopi terlihat mendominasi beberapa sudut kota yang disebut dengan kota madani ini. Gadis-gadis berjilbab keturunan Arab, Cina, Eropa dan Hindia terlihat lalu lalang di jalan raya. Mereka terlihat sangat cantik.
“Kisah kamu unik, Nanda!” ujarku sembari terus menarik gas motor.
“Apa?” Suara Nanda membuat beberapa pengendara lain menoleh ke arah kami. Mereka memasang ekspresi jijik.
“Kisah kamu unik!” Aku meninggikan suara. Angin terlalu kencang. Pendengaran lumayan terganggu.
“Hahaha. Unik apaan. Cerita hidup kamu yang keren. Kalau dibuat novel, aku yakin sekali bakal viral.” Nanda merapatkan tubuhnya ke punggungku.
“Na-na[2] saja.”Aku mengoper gigi ke gigi 6, kecepatan 80 kilometer per jam. Kami akan bergerak ke arah pantai Ulee Lheu. Di sana pemandangannya sangat indah. Di sepanjang jalan menuju ke pelabuhan penyeberangan ke Sabang, terdapat banyak sekali pedagang yang menjual kelapa, bakso goreng, teh botol, dan jagung bakar. Banyak muda-mudi yang singgah di sana, duduk di atas kursi plastik santai yang di atur saling berhadapan dengan sebuah meja plastik pula di depannya.
Di ujung jalan, terlihat beberapa baliho dari Dinas Syariat Islam terpasang.
“Jika keluar rumah. Jauh dekat jangan lupa tetap pakai jilbab” Himbauan ini ditujukan untuk kaum perempuan, kaum lelaki cukup memakai baju dan celana panjang saja.
“Dilarang berdua-duaan di tempat ini.” Peringatan ini dialamatkan kepada muda-mudi yang sedang teler asmara. Mereka memang butuh peringatan lebih banyak, karena sering sekali merasa bahwa dunia ini hanya milik mereka berdua saja, yang lain cuma numpang lewat.
Di dekat gerbang pelabuhan, di sana juga ada beberapa papan peringatan dari badan penanggulangan bencana.
“AWAS BENCANA TSUNAMI” Sebuah tulisan berwarna hitam di atas cat kuning sebagai warna dasar plang.
“Jalur Evakuasi --->” Papan peringatan berwarna hijau dengan tanda panah menunjuk ke arah perbukitan yang jauh dari laut.
Aku terus memacu Honda[3]. Kecepatannya aku kurangi menjadi 54 kilometer per jam saja. Aku biarkan Nanda leluasa melihat ke berbagai sisi, aku pikir kasihan juga dia.
“Mahir!” Nanda menepuk pahaku pelan.
“Apa?”
“Kamu kenapa tidak mau pacaran? Padahal banyak adek leting suka sama kamu.” Nanda merapatkan dadanya ke punggungku. Kupingnya terbuka lebar-lebar, bersiap mendengar penjelasan dariku.
“Wanita itu makhluk yang sangat sempurna. Aku nggak mau menyakiti mereka. Satu tetes air mata wanita jatuh ke tanah, ribuan tahun bumi akan mengutuk kita.”
“Alah! Serius aku. Tidak perlu kamu jawab aneh-aneh seperti itu.”
“Hahaha. Aku Malas pacaran. Adek leting banyak modusnya. Palingan mereka cuma manfaatin kita buat jalan-jalan, makan, buat makalah dan buat skripsi. Nanti ujung-ujungnya mereka nikahnya sama orang juga. Phet[4].”
Nanda terdiam. Dia sadar bahwa topik barusan sama sekali tidak penting, karena sudah 107 kali dia menanyakan hal sama kepadaku. Namun, aku bisa memaklumi, karena batin dan pikirannya memang lagi tidak ada di sini.
“Eh, Mahir! Ada apa itu ramai sekali orang?” Nanda menepuk-nepuk bahuku. “Ada hukuman cambuk kayaknya.”
Kawanku semakin aneh. Pertanyaan sendiri, dijawab sendiri. Kondisi jalanan yang lengang, sekonyong-konyong jadi padat. Dua mobil milik kepolisian dan pasukan Wilayatul Hisbah[5] terlihat berbelok ke area Masjid Baiturrahim, sebuah Masjid yang selamat dari Tsunami, Masjid yang pernah didatangi oleh mega bintang sepakbola dunia asal Portugal, Cristiano Ronaldo yang sampai detik belum berhenti juga menoreh rekor demi rekor.
Di depan Masjid terlihat sebuah panggung sudah didirikan di sana. Para wartawan yang dari tadi sudah berkumpul mengeluarkan peralatan kerjanya ; kamera, lensa wide, lensa tele, kertas catatan, tripod, pulpen, microphone, memori cadangan, id card dan beberapa benda lain yang aku kira tidaklah perlu aku sebutkan semuanya.
Dari segala penjuru, orang-orang sudah memenuhi perkarangan Masjid yang berada di pertigaan jalan itu. Suasana menjadi sangat riuh. Mereka semua terlihat celingukan tidak sabaran menunggu acara puncak ini segera dilaksanakan.
Di tengah jalan, berulang kali aku harus memindahkan gigi ke gigi satu. Rumit naik motor yang ada koplingnya kalau keadaan lagi ramai dan padat seperti ini. Tanganku pegal. Punggungku juga merasakan hal yang lebih pahit, karena harus menahan tubuh Nanda yang berulang kali terdorong ke depan, karena jok motornya yang masih licin dan mengkilap efek dikasih kit.
“Mahir!”
“Ha!?”
“Ke situ kita!?”
“Terserah."
Nanda melihat ke belakang. Tangan kanannya dibentangkan sedikit. “Belok terus! Belakang aman,” ujarnya yakin.
“Thik!” Aku menyalakan lampu sein ke kanan.
Setelah mendapatkan tempat parkir yang aman, kami langsung menggelinjang masuk ke tengah kerumunan. Acara inti akan segera dilaksanakan. Pria bergamis coklat dan bertopeng melangkah naik ke atas panggung, didampingi oleh dua anggota polisi, dua polisi syariat Islam dan beberapa perwakilan dari dinas terkait. Terlihat sepotong rotan diserahkan kepada pria bertopeng tadi.
“Itu namanya algojo, Nanda!”
“Apa?”
“Algojo!” bisikku sekali lagi.
Dari arah mobil tahanan yang bersebelahan dengan ambulance, terlihat seorang pria berpakaian serba putih digiring naik panggung. Pria itu dari tadi hanya menunduk lesu. Dia tidak sempat mengurus ujung celana jeans birunya yang terlihat kotor.
“Huuuu! Makan itu! Makan!” Sumpah serapah sempat terdengar dari para penonton.
“Sudah, woy! Sudah!” teriak barisan tidak tegaan.
“Tes! Tes! Suara dicoba.” Nging, pengeras suara mau bertingkah, tetapi tidak jadi, “Bapak-bapak! Adek-adek! Tolong tenang! Yang di atas pagar kami harapkan untuk segera turun! Nanti kalau jatuh, kepalanya pecah. Di pasar Aceh tidak menjual kepala.”
Setelah massa yang merasa suci lumayan sunyi. Terdengar salah satu petugas membacakan nama si pelaku ; Lengkap dengan nama bapaknya yang sedang berharap doa anak di balik keranda yang sudah dimakan rayap.
Pria itu akan dicambuk sebanyak 36 kali karena perbuatannya yang menjual miras. Dia diminta untuk berdiri di tengah-tengah panggung. Algojo mengambil tempat di sebelah kirinya.
“Satu!