Keadaan lagi sedang tidak baik-baik saja. Semester akhir di kampus seperti ini terasa sangat berat. Sebentar lagi aku harus pergi KPM[1] dan menyusun skripsi. Bang Ikhlas sudah berupaya segala cara. Bang Ikhlas mencoba menjadi nelayan di sungai untuk mencari tambahan. Namun, hasilnya masih jauh dari kata mengembirakan, kami sekarat. Nasib perkuliahanku terancam berujung tragis.
“Ya Allah! Mudahkan segala urusan hamba!” Kata-kata itu selalu aku ulang-ulang di dalam bait-bait doa.
Aku terus memikirkan cara agar mimpiku memakai baju toga bisa terwujud. Tiba-tiba aku teringat dengan sepetak tanah warisan dari Mak, tanah yang aku bagi dua dengan Bang Ikhlas. Aku mengambil hp di atas lemari, membuka kontak, mencari nomor Bang Ikhlas di sana.
“Tut! Tut! Tut!”
“Ha! Halo, Mahir!”
“Assalamualaikum, Bang!”
“Waalekom salam! Ada apa, Mahir!”
“Bang, tanah yang jatah buat saya, saya jual saja boleh, Bang? Saya butuh uang. Sebentar lagi mau KPM. Laptop juga belum ada. Susah Bang buat skripsi kalau tidak laptop.”
Bang Ikhlas terdiam sejenak. Hanya suara jentikan korek yang terdengar.
“Tanah warisan tidak boleh dijual, Mahir! Apa pun alasannya tanah itu tetap tidak boleh dijual. Sabar!”
“Tapi, Bang!?”
“Tut! Tut! Tut!!”
Ya ampun! Bang Ikhlas mematikan telponnya.
Lima menit kemudian, Bang Ikhlas menghubungiku lagi.
“Halo, Mahir! Kalau nggak ada kuliah, pulang saja dulu ke kampung!”
“Iya, Bang! Besok saya pulang!”
Di kampung, aku duduk termenung di teras. Sayup-sayup terdengar lagu ‘aneuk yatim’ milik
Rafly beralun-alun sedih.
“Mahir!”
“Iya, Bang!” Aku melepaskan tanganku yang sedang memeluk lutut.
“Ini sertifikatnya, terserah mau kamu bawa ke mana! Percuma abang larang kamu untuk tidak menjualnya, kamu tidak mau dengar juga.” Bang Ikhlas berlalu masuk ke dalam. Pikiranku keruh ketika melihat lembaran kertas bersampul biru itu.
Di depan rumah, dari tadi terlihat mobil avanza silver mondar-mandir seperti penculik anak. Sesekali orang yang duduk di samping sopir menurunkan kaca mobil, membuka kacamata, melihat ke berbagai arah dengan sorotan mata yang tajam dan teliti sekali.
Tiba-tiba mobil itu berhenti tepat di rumah kami. Pria yang berkulit hitam legam dan berperut buncit yang duduk di samping sopir berjalan mendekatiku yang masih duduk di atas tembok teras.
“Selamat siang, Dek!”
“Siang, Bang!” Aku berdiri menyambutnya dengan baik.
“Boleh aku bertanya?”
“Iya, Bang. Silakan!”
“Pemilik rumah ini mana?” Logat cara dia bertanya lumayan keras, seperti depkolektor.
“A...ada, Bang. Di dalam!” Parah, sepertinya mentalku kembali bermasalah seperti dulu lagi.
“Coba kau panggil sebentar!” Cara dia ngomong semakin tidak hangat. Ada apa ini? Aku tidak mau harus kehilangan Bang Ikhlas. Dia satu-satunya permata tersisa yang masih aku miliki. Aku tidak mau cerita hidupku jadi semakin runyam, sulit, bin rumit. Kasihan pembaca kalau aku tuliskan di dalam novel.
Aku menggelinjang ke dalam, memanggil Bang Ikhlas yang sedang menjahit selangkangan celana kerjanya yang sudah robek.
“Bang! Ada orang perlu di luar!”