SAYAP-SAYAP DOA

Fendi Hamid
Chapter #2

"Madrasah Ibtidaiyah"

Aku tidak mau berlebihan, tapi kali ini aku harus mengatakan dengan jujur kalau hari ini adalah hari yang paling aku tunggu-tunggu. Setelah enam tahun berlalu, akhirnya aku akan mencicipi pengalaman pertamaku untuk bersekolah. Sebuah penantian yang cukup panjang, aku benar-benar sudah tidak sabaran untuk segera belajar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 1 Panga, Aceh Jaya. Tidak ada alasan khusus kenapa aku tidak memilih bersekolah di SD saja. Ini semua tentang tradisi di dalam keluarga. Aku tidak mau menjadi orang yang merusak tradisi yang sudah berlangsung cukup lama itu. Namun, aku harus menerima beberapa hal yang mungkin saja tidak terjadi pada anak-anak yang lain. Ya, aku harus membiasakan diri untuk sekolah tanpa uang jajan, tanpa tas dan sepatu yang bagus.

“Iya, tidak apa-apa. Yang penting saya bisa sekolah.” Begitu jawabku ketika Mak menyodorkan syarat-syarat tak biasa itu kepadaku.

Tepat jam setengah delapan, anak-anak mulai berdatangan ke sekolah. Halaman yang tadinya sepi mulai riuh. Di ujung tiang bendera terlihat sang merah putih berkibar gagah mengikuti irama angin yang bertiup mersa dari arah laut Samudera Hindia.

“Nanti waktu pulang tunggu Kakak ya!” Kak Nur berkelebat ke kelasnya. Hari ini Kak Nur piket, dia tidak bisa berlama-lama menemaniku yang berdiri malu-malu di dekat gerbang.

Aku hanya mengangguk pelan, rasa gugup mulai menyapaku. Mentalku benar-benar diuji di sini. Sikapku yang tidak mudah berbaur butuh banyak waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru seperti ini. Rasa itu kian menjadi-jadi, karena penampilanku paling mencolok di antara ratusan anak lain yang berada di sana. Aku tidak memakai baju seragam berwarna putih. Aku malah memakai baju pramuka. Bukan karena aku ingin melanggar peraturan sekolah, tetapi aku hanya punya baju itu. Itu pun bukan baju baru, itu baju Kak Nur yang sudah sedikit kekecilan untuk dipakainya.

Celanaku tidak kalah membuatku ciut. Aku tidak memakai celana sekolah, aku hanya memakai celana hitam pendek yang menampakkan betis hitamku yang ada kudisnya. Celana itu adalah satu-satunya celana terbaik yang aku punya. Resletingnya sudah lama rusak, Mak terpaksa menjahitnya dengan satu-satunya benang yang ada di rumah kami ; benang berwarna kuning.

Sesekali aku mengernyitkan dahi akibat menahan sebuah rasa sakit yang hadir di bagian perutku. Aku seperti itu bukan karena penyakitan. Aku seperti itu karena kancing asli celanaku sudah tanggal. Peniti yang Pak pasangkan sebagai kancing darurat itu sering sekali terlepas. Kalau aku duduk kulit perutku acap kali tertusuk olehnya.

Lihat selengkapnya