SAYAP-SAYAP DOA

Fendi Hamid
Chapter #3

"Masjid Raya"

Setelah sempat diguyur oleh hujan, matahari kembali terlihat. Burung-burung yang meringkung di antara pelepak kelapa sepakat memutuskan keluar untuk melanjutkan nyanyian merdunya yang belum usai. Aku tidak kalah bersemangat menyambut pagi yang damai ini. Hari ini aku dan Pak akan pergi ke Banda Aceh. Perjalanan kami bukanlah perjalanan biasa. Kami akan melakukan sebuah pelawatan sakral.

Dari celah-celah dinding dapur terlihat gumpalan asap keluar bergulung-gulung. Mak dan Kak Nur sejak semalam terlihat sibuk sekali. Mereka hanya istirahat sebentar. Mereka ingin memastikan tidak ada satu pun yang terlupakan untuk kami bawa ke kota yang dulunya disebut dengan Kutaraja itu.

Jam setengah delapan, aku sudah terlihat rapi. Aku tampak gagah memakai baju kaos bercorak harimau dan celana coklat berkantong besar di kedua sisi pahanya. Semua yang aku pakai itu adalah pemberian dari salah satu saudara jauhku yang tinggal di Banda Aceh. Dari atas kosen pintu, aku meraih sebuah sisir jari yang sudah patah-patah. Lalu aku berdiri di depan jendela tanpa gorden untuk bercermin, karena di rumah kami tidak ada cerminnya. Aku mulai menyisir rambut hitam lebatku dengan gaya andalanku, sebeng ke kanan.

Aku semakin percaya diri saja dengan penampilanku hari ini. Pak memberiku sebuah kejutan. Diam-diam beliau membelikanku sebuah sandal karet yang juga bercorak seperti harimau sumatera.

“Mahir!” Pak memanggilku dari dalam kamar.

“Iya, Pak!” jawabku sopan.

“Ke sini sebentar!”

“Ada apa, Pak?” tanyaku sembari menyibak gorden pintu kamar.

“Ambil korek Pak sebentar di bawah tempat tidur!”

Mendapat perintah dari Pak, aku langsung mengambil posisi tiarap untuk misi pencarian korek. Aku buka mata lebar-lebar untuk memantau ke seluruh sisi di bawah dipan yang lumayan gelap itu.

 “Tidak ada, Pak!”

“Coba kamu lihat di dalam kantong hitam itu, mungkin ada di sana!”

Aku mendorong lebih maju tubuhku ke bawah dipan, karena tanganku tidak sampai untuk meraih kantong hitam yang berada di sisi dinding itu. Begitu kantong itu aku dapatkan, aku buru-buru keluar dari sana.

“Coba kamu buka!” Pak tersenyum aneh kepadaku. Senyuman beliau menampakkan seluruh gusinya yang tak bergigi lagi.

“Sandal siapa ini?” tanyaku heboh. Aura kebahagiaan mekar begitu saja di mukaku. Aku berharap sandal itu milikku.

“Coba kamu pakai! Pas tidak?” Pak meraih sandal itu dan meletakkan di ujung kakiku.

“Pas, Pak!” Aku berlari ke dapur. Aku mau Mak dan Kak Nur tahu kalau aku sudah ada sandal baru.

Di belakangku, Pak lagi-lagi tersenyum. kerutan wajahnya karena sudah berkepala lima seakan-akan terlihat kencang lagi. Sikapnya yang banyak diam ternyata sewaktu-waktu bisa seromantis itu juga.

***

Mak dan Pak tidak bercanda soal harapan besar kepadaku dan Kak Nur. Beberapa bulan terakhir Pak begitu bersemangat mencari uang untuk bisa membawaku ke Banda Aceh. Alhamdulillah, di setiap usaha maksimal pasti ada hasil manis yang menanti. Pak sudah lama menabung untuk membawaku ke Banda Aceh. Momennya semakin tepat, kemarin Pak mendapatkan banyak sekali kepiting. Pak memutuskan untuk menjualnya di Banda Aceh saja, karena harga jual di sana yang lebih mahal.

“Semoga anak kita jadi anak yang sukses, Bang!” ujar Mak sambil menarik jilbab yang tergantung di pintu untuk menutup rambut panjangnya yang sudah beruban.

“Saya sangat berharap Mahir nanti bisa dipeusijuk[1] langsung oleh imam Masjid Raya. Siapa tau nanti anak kita juga jadi anak yang cerdas seperti imam Masjid Raya,” kata Pak penuh harap.

“Insya Allah!” sahut Mak.

Dari luar terdengar klakson mobil L300 mengaum-aum keras. “Tit...tit...tit!!!!”

Aku melongok ke luar dari pintu yang bercat hitam. Benar, sebuah mobil L300 berwarna putih berhenti tepat di depan rumah kami. Terlihat sang kenek turun membukakan pintu. Aku dan Pak kebagian tempat duduk tepat di belakang sopir. Setelah bersalaman dengan Mak, Kakak, dan Abang, aku langsung berkelebat ke luar. Semangatku menggebu-gebu. Pak menyusul tersuruk-suruk di belakang, karena keberatan menenteng sekarung kepiting dan talam berisi nasi ketan serta kebutuhan peusijuk lainnya.

Di dalam mobil terlihat semua kursi sudah terisi, penumpangnya kebanyakan orangtua. Hanya ada dua anak gadis di sana. Mereka duduk tepat di samping sopir. Begitu kenek menutup pintu, aroma solar dan pewangi mobil menyeruak bersamaan. Ada sesuatu yang berbeda yang aku rasakan. Perutku meronta-ronta seperti ingin menumpahkan segala isi yang ada di dalamnya. Aku mencoba tidak menghiraukan perutku yang memberikan sinyal yang tak baik itu. Aku mendorong jendela, melambai-lambaikan tangan ke arah Mak, Kak Nur dan Abang Ikhlas yang berdiri di depan rumah.

“Jangan lupa oleh-oleh ya!” teriak Kak Nur.

Aku tidak menjawab. Mulutku sudah terlanjur kaku dengan senyuman kebahagiaan. Akhirnya bisa pergi ke Banda Aceh juga.

Kesenangan, kebahagiaan, kegembiraan, dan keceriaan yang aku dapatkan hanya berlangsung kurang lebih 40 kilometer saja. Perutku mendadak seperti dipelintir. Mulut pun mulai terasa tidak enak. Mataku berkerjap-kerjap tidak keruan. Pak menyadari gelagat aneh yang sedang aku pertontonkan.

“Tidur di sini!” ujar Pak sambil menunjuk ke arah pahanya. Aku tidak menunggu detik berikutnya. Aku langsung menyandarkan kepalaku di paha Pak. Ini momen yang sangat indah sebenarnya. Jarang sekali aku bisa semesra ini dengan Pak. Namun, aku tidak bisa mengingat yang lain dulu, otakku sedang berkonsentrasi untuk menenangkan perut yang semakin liar berputar-putar ke berbagai arah ; atas, bawah, kiri, kanan, barat, timur, utara dan selatan.

Tiba-tiba sopir memutar setir ke arah kiri, ayunannya begitu terasa. Perutku akhirnya berhasil membuatku menyerah. Aku muntah. Beruntung Pak cekatan meraih kantong plastik yang diselipkan di belakang jok sopir.

Lihat selengkapnya