" Seperti jejak yang membekas, luka hatipun demikian. Waktu ibarat sebuah perban, menutupi luka tapi tidak bisa menghilangkan rasa sakit yang ada di sebuah hati yang terluka."
***
Arjuna baru saja telah menyelesaikan naskah novel ke dua-nya 'Gerimis Paling Bening di Kairo'. Saat ini cewek itu sedang melakukan 'self editing' terhadap naskahnya di sebuah taman di lingkungan Villa-nya. Jam di laptopnya menunjukan pukul tujuh tepat. Cursor mouse-nya menekan icon save.
Cewek itu bergegas ke dalam Villanya, hendak mandi.
Blackberry di kantung celananya bergetar. Tangannya merogoh dan mendapati BBM dari Dhani.
o Arjuna, selamat pagi, beauty, lagi apa sekarang?
Jari-jari Arjuna lincah mengetikkan balasan untuk Dhani. Sementara tangan satunya memutar kran. Air shower mengalir mengisi bathub.
√ Lagi mau mandi nich
o Aku siangan dikit ya ke Villa kamu, aku kesiangan.
√ Ok
Balasnya singkat.
Arjuna berniat memanjakan diri dengan berendam di dalam bathub. Mandi sauna. Earphone nangkring di lubang kiri-kanan teling cewek itu. Earphone yang terhubung dengan iPod yang terselip di handuk mandi yang terletak tepat berada di dekat kepalanya menjadi pilihannya untuk menemani dirinya bermalas-malasan.
Arjuna menggeser tubuhnya yang tengah berendam di bathub itu, membenarkan posisinya agar lebih rileks. Gerakannya itu menimbulkan suara kecipak dan sejumlah air mandinya tumpah ke lantai.
Sejurus kemudian, setelah menekan tombol play, ruang di telinganya di isi dengan bait-bait dari lagu penyanyi kesukaannya, Bryan Adams. Arjuna memejamkan mata meresapi lirik lagu : Here I am.
Arjuna menikmati lagu itu sampai habis. Lalu ketika lagu beralih pada list song berikutnya; 'All By Myself' mengalun lembut, cewek itu langsung memencet tombol 'next' lalu berganti intro sebuah lagu 'Cintaku Hilang' Geisha. Arjuna kesal sendiri merasa disindir dengan lagu-lagu itu. Tangannya melepas earphone dan menyimpan iPod-nya di balik lipatan handuk di dekatnya. Meneruskan aktivitas mandinya.
***
Dhani menyeret koper beroda. Sebuah koper yang berisi penuh dengan baju-baju dan aksesori milik cowok itu. Di tengah-tengah sebuah ruangan, cowok itu mengamati sekitar.
Dinding-dinding sepanjang ruang tamu dalam villa yang berlapis wallpaper bermotif regency, tampak serasi sekali dengan lampu meja bergaya klasik yang diletakkan di beberapa spot di ruang tamu itu.
Rak buku yang terletak di dekat jendela, penuh dengan pajangan buku-buku dan CD-CD koleksi penghuninya. TV plasma digantung di sisi lain ruangan, dengan kursi-kursi dan sofa dibuat menghadap ke arah itu.
Terdengar langkah kaki menuruni tangga yang terhubung ke lantai atas.
"Hai! Akhirnya kamu datang juga,'' Suara cewek itu terdengar ramah sekali.
Dhani tersenyum ke arah perempuan itu.
Mereka tepat berdiri di tengah-tengah ruang tamu dalam Villa.
Mata Arjuna menelusuri Dhani dari ujung kepala sampai ujung kaki. Cewek itu mendapati penampilan yang beda dari lelaki yang belum lama ia kenal itu. Rambut yang dipotong pendek, amat serasi dengan rahang persegi yang terlihat warna abu-abu kehijauan, habis cukuran, di mata Arjuna itu sangat-sangat maskulin. Wajah yang putih, bersih dan tampan, leher yang tegas dengan jakun yang terlihat menonjol di daerah itu juga merupakan sekian pemandangan yang mempesona dari seorang lelaki di hadapannya, yang tiba-tiba saja cewek itu tidak bisa menolak untuk terus mengaguminya.
Pakaian casual yang begitu cocok di badan yang tegap dan atletis. Fashionable. Plus perut rata dan six pack itu. Menjadi poin plus kesekian bagi seorang Dhani di mata Arjuna.
"Ehm...'' Suara dehem itu menyadarkan Arjuna.
Dhani begitu saja meninggalkan kopernya, lelaki itu menuju sofa. Duduk di sana.
"Ga' nyangka aku bisa bertemu dengan penulisnya langsung.'' Mata Dhani tertuju pada sebuah poster besar yang tertempel di dinding dengan sebuah pigura yang sangat cantik. Poster dengan gambar cover novel " Kaligrafi untuk Sabrina " karya Arjuna.
Arjuna tersenyum menimpali pertanyaan Dhani seraya mengambil duduk di sebelah Dhani.
" Kamu juga membaca novel itu?'' Arjuna balik bertanya.
Dhani mengangguk seraya berdiri, mendekati kopernya, membuka lalu mencari-cari sesuatu.
''Ini kebetulan aku bawa.'' Dhani menunjukan sebuah novel yang dia ambil dari dalam kopernya.
" Minta tanda tanganya dong, " Dhani menyambung ucapannya. Arjuna tertawa kecil.
''Aku suka ceritamu dalam novel ini. Kamu begitu menarik dalam menuturkan cerita. Bagaimana seorang anak perempuan yang tumbuh besar di lingkungan pondok pesantren. Anak dari seorang Kyai besar. Siapa nama cewek itu_ iya, si Sabrina, perempuan shalehah yang jatuh cinta dengan salah satu santri di ponpes kakeknya yang mahir membuat kaligrafi, namun ditentang Sang Kyai karena alasan bobot, bibit, dan bebet. Sang Kyai menginginkan anaknya menikah dengan seorang Ustadz muda seorang Haviz yang memiliki trah dari seorang ulama besar. Sang Kakek tidak mengetahui sejarah hitam Haviz muda itu pernah terjun menjadi artis dan terlibat narkoba.
Kisah siti nurbaya di kalangan ponpes demi melanggengkan estafet kepemimpinan ponpes untuk tetap menjaga tumbuh dan besar ponpes
adalah hal wajar terjadi di lingkungan ponpes. Kisah Percintaan yang bersitegang antara pembuktian perempuan shalehah yang penurut dan bakti ke orang tua, dengan sisi cinta, pergolakan rasa pada sepasang manusia yang saling tulus mencintai atas nama ta'aruf. Cinta bukan sekedar permainan rasa! Apa lagi bermain-main dengan kelamin !. Sebab cinta bukan sekedar permainan rasa!. Persis seperti tagline novelmu ini.'' Antusias lelaki itu merangkum cerita novel dalam genggaman-nya. Mereka kini duduk bersisian.
''Terima kasih atas apresiasinya,'' Itu saja akhirnya yang terucap dari bibir Arjuna, yang setelah sekian waktu mematung mendengarkan cowok di sebelahnya.
Arjuna bangkit menuju ke sebuah ruangan kamar. Dhani menuju kopernya, menyeretnya lalu menyusul Arjuna.
''Ini kamar kamu.'' Tangan Arjuna meraih handle pintu, membuka. ''Ok, aku tinggal dulu ya, mau buat sarapan.'' Sambungnya.
Dhani membalas dengan anggukan kecil.
Sepeninggal Arjuna.
Dhani terkesima untuk kesekian kali. Di depan matanya terhampar sebuah ruangan kamar yang luas, dengan lantai marmer senada warna kayu jati, dengan dekorasi interior yang mewah. Sebuah ranjang tidur yang over size dengan selimut beludru yang tebal.
Cowok itu lalu menghempaskan tubuh tegapnya di atas tempat tidur, yang disambut oleh tempat tidur itu dengan memantul-mantulkanya untuk beberapa saat.
BB yang ada di saku celana-nya bergetar. Dhani merogoh sakunya. Ternyata notifikasi broadcast berita. Dhani kecewa. Entah kenapa dirinya masih berharap sekali mendapatkan BBM dari Alvira meski sekedar menanyakan kabar atau mengecek keberadaannya. Sepertinya dia memang benar-benar telah dilupakan begitu saja oleh mantannya itu.
Sejenak cowok itu mengecek kontak BBM-nya. Jarinya lincah bermain di layar smartphone-nya, berhenti pada sebuah kontak dengan foto profile Alvira. Mantan kekasihnya itu sepertinya sedang ber-BBM-an, entah dengan siapa. Tampak terlihat di sana tertera, '...is writting a messege '
Dhani sangat berharap Alvira sedang menuliskan pesan untuknya. Tapi sepertinya harapannya tidak terwujud, setelah persekian detik, menit menunggu, pesan Alvira tidak ada yang masuk di BB-nya. Dhani kembali kecewa.
Dhani membuka akun twitter-nya. Membuat sebuah postingan di sana.
@dhaniabimanyu Seperti jejak yang membekas, luka hatipun demikian. Waktu ibarat sebuah perban, menutupi luka tapi tidak bisa menghilangkan rasa sakit yang ada di sebuah hati yang terluka.
Dhani meletakkan BB-nya asal, pokoknya masih berada di sekitar dirinya yang masih rebahan di atas tempat tidur. Memandangi langit-langit, lalu menghela nafas panjang.
Waktu sepertinya tidak bisa benar-benar menghapus jejak-jejak kenangan terhadap mantannya itu.
Kepergiannya plesir ke Bali adalah bukti ketidaktegaran hati dirinya. Dhani begitu rapuh menghadapi kenyataan bahwa saat ini dia adalah lelaki patah hati. Luka itu kini seakan telah menjelma menjadi kenangan sepanjang waktu. Bahkan di saat ruang dan jarak telah menjadi sekat atas kehidupan masing-masing.
Sinar matahari siang Ubud, begitu terik menerobos melalui kaca jendela kamar. AC yang menyala dalam ruangan kamar tak mampu menyejukan hatinya.
Dhani tersadar sudah terlalu lama dia mengurung diri di kamar. Dhani bangkit dari tempat tidur, mengantongi kembali BB-nya ke saku celana. Keluar kamar mencari Arjuna.
Dhani langsung menuju dapur. Perutnya sudah kruyuk-kruyuk.
Sesampainya di dapur, terlihat Arjuna sedang membuat omelette. Serius menggoreng. Dhani berjongkok di depan dispenser, mengisi gelas di tanganya dengan air dingin. Meminumnya. Lalu mengambil minuman kaleng bersoda dari dalam kulkas.
Sementara di atas meja dapur, terlihat omelette dan beberapa sosis menghuni sebuah piring. Tercium aroma khas masakan yang baru matang, masih terlihat samar mengeluarkan uap tipis dari kedua makanan itu.