Pengurus OSIS itu harus selalu tertib, rajin, pandai, bertanggung jawab, dan mampu memberikan teladan bagi siswa dan siswi di sekolah. Namun, aplikasi nyatanya? Tidak selalu begitu.
Adiba masih duduk seorang diri di depan ruang OSIS. Waktu menunjukkan pukul 06.00. Sang ketua pun belum terlihat batang hidungnya.
Terkadang, Adiba mengumpat dalam hati saat beberapa pengurus OSIS tidak menepati janji atau menggunakan kata-kata kotor yang tidak patut diucapkan oleh manusia. Masih pantaskah mereka menjabat sebagai pengurus OSIS? Andai saja Adiba menjadi kepala sekolah, akan ia turunkan jabatan mereka. Tapi, apalah daya? Ia hanyalah seorang Adiba Shakila Abqoriah yang mampu menegur. Parahnya, teguran itu diabaikan seperti angin lalu. Harusnya, mereka ingat pepatah Arab “unzhur maa qaala wa laa tanzhur man qaala”. Lihatlah apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.
“Sudah dari tadi?”
Adiba menoleh ke asal suara. Itu Bunga, seksi ketakwaan di OSIS.
“Lumayan,” jawabnya singkat.
Bunga mengambil posisi duduk di samping Adiba. “Siapa yang bawa kunci ruang OSIS?”
“Kak Ibnu. Dan dia belum datang.”
Bunga mendengkus kesal. “Aku udah buru-buru, kirain udah banyak orang. Ternyata baru ada kamu. Kak Ibnu gimana sih? Katanya jam 06.00... ini udah setengah tujuh kurang sepuluh, gak nongol juga. Tadi, aku udah lari-lari ngejar angkot pemberangkatan pertama biar sampe sekolah tepat waktu. Eh ternyata, pada telat! Tahu gitu aku gak usah lari-lari dan naik angkot kedua aja.”
Adibatersenyum.“Udah,yang sabar. Innallaha ma’asshabirin1.
Tidak baik juga pagi-pagi sudah mengumpat orang.”
“Ya, habisnya sebel!” Bunga berjalan bolak-balik tak sabar menunggu. Siapa sih yang suka menunggu? Menunggu itu melelahkan dan membuang-buang waktu. Apalagi jika orang yang kita tunggu tidak akan datang, itu bagai menunggu matahari pada malam hari. Jangan menunggu jika kau tak ingin lebih tersakiti.
* * *
“Nauval, bangun, Nak. Sudah setengah tujuh, kamu harus berangkat sekolah.” Suara Rahma tak membuat Nauval bergerak seinci pun dari tempat tidur. “Umi masuk ya?” lanjutnya karena tidak mendengar respons dari pemilik kamar. Tetap saja hasilnya nihil. Tidak ada jawaban.
Rahma pun menyelonong masuk ke kamar Nauval. Ia tahu bahwa sang anak memang sengaja tidak membuka pintu ataupun menjawab, tetapi memilih berpura-pura tidur. Wanita itu menarik napas panjang agar diberikan kesabaran menghadapi anak semata wayang yang memiliki kebandelan di atas rata-rata. Innallaha ma’asshabirin. Sisi lainnya mengingatkan.
“Astaghfirullah. Nauval! Bangun, Nak. Sudah jam berapa ini? Nanti kamu telat ke sekolah.” Suara Rahma tetap datar.
Hanya ada dengkusan kesal dari mulut lelaki itu. Ia semakin mengeratkan pegangannya pada selimut.
“Ayolah, Nak.” Rahma menarik selimut lalu menarik Nauval dan mendorongnya ke kamar mandi.
“Iya, Umi, iya. Nauval bakalan mandi. Gak usah didorong-dorong gini. Umi gak usah mandiin Nauval, udah gede udah bisa mandiri. Mandi sendiri,” ucap Nauval masih dengan mata terpejam.