Sayap Surgaku

Coconut Books
Chapter #3

Terlambat, Dapat Pacar

“Ya Allah, Nauval, Umi tahu kamu itu tampan, pintar lahir batin, tapi bandelnya bisa dihilangin gak? Kalo enggak ya dikurangin gitu. Cukup jadi siswa tertib dan taat peraturan di sekolah saja kok, gak lebih. Kamu harus sadar, kalo peraturan sekolah juga termasuk perintah Allah,” komentar Umi setelah membaca surat dari BK.

Baru sehari masuk sekolah, Nauval sudah menerima surat peringatan dari BK. Surat cinta terbaik dari sekolah. “Ya Allah, Val... Val      Umi heran deh, kamu ketularan sifat bandel dari siapa sih?”

Umi dan abi Nauval adalah orang baik-baik sejak lahir. Eyangnya juga. Mereka sosok religius yang menaati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nauval sendiri terkadang heran kenapa  punya sifat bandel. Padahal,  dari dalam kandungan sudah dicekoki ilmu agama. Bahkan, setiap hari umi dan abinya tidak pernah absen membacakan surah Yusuf supaya ia terlahir menjadi lelaki setampan Nabi Yusuf. Memang terbukti sekarang ia tampan walaupun hatinya belum setampan Nabi Yusuf.

Menurut kacamata Nauval sendiri, bandelnya wajar saja. Hanya tidak menaati peraturan sekolah, bolos pada jam pelajaran, tidak mengerjakan tugas, kabur saat ulangan, membantah guru, merokok, dan suka telat. Hanya itu. Nauval selalu on time salat lima waktu. Mengaji? Ia juga masih mengikuti selayaknya santri di pondok pesantren, tanpa pandang bulu antara anak kiai dan santri. Sopan santun? Ya, itu bisa berubah-ubah, bergantung pada situasi. “Ya, kan Nauval udah ganteng dan tampan, Mi, jadi harus ada bandelnya dong.”

“Ganteng aja dibanggain,” omel uminya seraya menyerahkan SP kepada lelaki berumur 17 tahun itu.

I think, nobody perfect in the world.”

“Enggak usah sok Inggris. Ngomong sing apik karo wong tua1. Kromo.Bahasa Kromo dalam bahasa Jawa adalah bahasa untuk berbicara kepada  orang yang lebih tua atau dituakan.

“Yah, Umi... yang gaul dong, Mi. Gaul dunia dan akhirat gitu lo.”

Tanpa menjawab, wanita berkerudung cokelat tua sampai pinggang itu keluar kamar. Nauval menatap punggung sang umi sembari terkekeh. Hatinya berjingkrak ria karena uminya sudah pergi sembari membawa kitab Alfiyah guna mengajar madrasah pagi. Pada hari kedua MPLS, Nauval memutuskan untuk terlambat lagi. Entah kenapa, ia suka terlambat. Dengan terlambat, ia akan mendapat ocehan nan nasihat yang akan melatihnya kebal dalam menghadapi berbagai perkataan.

 

* * *

Matahari belum menampakkan cahayanya. Pohon-pohon masih terlihat hitam. Beberapa bagian daun tersinari oleh cahaya lampu pinggir jalan. Sejumlah santri tampak tengah keluar dari masjid lalu memakai sandal yang tertata di teras. Adiba ikut berdesak-desakan untuk memakai sandal.

Sandal sebelah kanan sudah berhasil dipakai, tetapi sandal sebelah kiri belum berhasil ia temukan. Beberapa santri mendorongnya hingga ia hampir terjatuh terjungkal. Adiba mendengkus agak panjang, cukup kesal dengan ulah mereka. Maklum saja, setelah jemaah salat Subuh, para santri akan buru-buru keluar masjid hanya untuk berlomba mendapatkan kamar mandi terlebih dahulu.

Sebuah sandal biru muda berselop hitam tampak di samping pembatas antara masjid santri putra dan putri. Mata Adiba melotot, khawatir jika sandalnya sampai ke area santri putra. Bisa malu mengambilnya.

Baru ingin beranjak mengambil sandal, seorang santri tanpa sengaja berhasil menggeser sandalnya ke area serambi masjid santri putra. Adiba mendengkus kesal. Ia menengok ke sana sembari berdecak. Banyak santri putra sedang duduk-duduk di sana. Aduhhh, gimana nih? Kalo aku ambil, malu sama santri putra. Kalo aku biarin, gak bisa pulang! Ah, gimana nih? Ya Allah. Pikiran Adiba kalut sendiri. Bertemu santri putra menjadi salah satu hal yang menguji nyali bagi para santri putri. Malu bukan main.

Para santri putri sudah pergi. Kini hanya ada dirinya dan satu orang santriwati yang menemani.

“Gimana dong, Neng? Sandalnya makin jauh,” ucap seorang gadis bermukena putih dengan bordir bunga berwarna ungu.

Adiba menatap sandalnya yang sudah semakin jauh dari tempat ia berdiri akibat tendangan santri yang berdesak-desakan ketika mengambil sandal. “Aduh, gimana ya, Dhyla?”

“Apa minta tolong sama santri putra aja, Neng?” usul Dhyla.

“Aduh, gimana ya? Masak minta bantuan?” Adiba malah balik bertanya karena ragu. Rasa malu mengalahkan segalanya. Entah kenapa, padahal ia biasa-biasa saja dengan teman lelaki di sekolah.

“Ini sandal sampean, Neng?tanya seorang lelaki berpeci hitam dan bersarung kotak-kotak cokelat. Tangan kanannya sudah membawa sandal Adiba.

Deg.

Adiba terkejut melihat kehadiran lelaki itu. “Iya. Itu sandal Neng Adiba,” jawab Dhyla.

Lelaki itu memberikan sandal kepada Dhyla. “Ini sandalnya.”

“Makasih ya, Akhi.” Akhi adalah panggilan untuk santri putra.

Lihat selengkapnya