Sayap yang Patah

Anggie Amelia
Chapter #1

Satu

Medina masih membiarkan Zayn mendekapnya erat dari belakang walaupun cahaya matahari sudah menembus celah fentilasi kamarnya. Wajah lelah Zayn membuatnya tak tega untuk bergerak sedikitpun takut membangunkan pria yang sudah di pacarinya selama setahun itu.

Dalam dekapan yang hening itu, pikiran Medina kembali melanglang buana kepada keluarganya di kampung halaman, Yogyakarta. Ia kembali mengingat pesan-pesan ibunya untuk tidak berbuat macam-macam di Jakarta. Tapi kini, ia malah tidur dengan pria yang bukan mahramnya. Hal ini mengusiknya selama berhari-hari.

“Kamu udah bangun?” bisik Zayn lirih tepat di daun telinga gadis itu.

 “Iya,” jawabnya. Kok udah bangun sih? Tidur lagi, masih jam tujuh, loh.” Medina membiarkan Zayn yang mendekapnya semakin erat dengan manja. Ini bukan jadwal bangun Zayn, biasanya pria itu bangun saat matahari sudah hampir berada di puncak kepala.

“Udah nggak ngantuk, kamu ngapain bengong-bengong gitu? Mikirin apa?” tanya Zayn lagi.

“Hmm, nggak kok,” jawabnya bohong namun berusaha untuk tak terlihat begitu.

“Yakin?” tanya Zayn tak percaya.

“Ada yang mau aku omongin sama kamu, tapi nanti deh, nggak sekarang.” Medina memutar tubuhnya menghadap Zayn. Ia memegang pipi pria itu dan tentu saja disambut senyuman hangat dari Zayn.

“Hobi ya, sekarang main rahasia-rahasiaan,” goda Zayn. “Bikin penasaran saja.” Lanjutnya.

“Hehe,” tawa Medina renyah. “Aku mau siap-siap ke kampus.” Medina beranjak dari Zayn dan mengambil handuk yang tergantung tepat di sisi kirinya.

“Bukannya kamu nggak ada jam ngampus hari ini?” tanya Zayn lagi.

“Aku mau hadirin rapat Rohis, Zayn. Ada janji juga sama anak-anak.”

“Hmm, oke.”

“Kayanya nanti aku ketempat kamu agak telat dikit, ya. Mau ketemu Yani dulu, pasti sekarang dia cemas mikirin aku nggak balik kos udah dua hari.” Medina berjalan menuju kamar mandi. Zayn hanya mengangguk mengiyakan perkataan Medina.

Zayn meregangkan badannya dan mengambil pakaian yang terletak asal di meja yang berada di sebelah kanannya. Ia mengenakan pakaian tersebut ㅡbaju putih polos longgar serta celana pendekㅡ dan berjalan menuju jendela. Zayn membuka gorden yang menutupi kamarnya. Ia menikmati sang baskara memberi cahaya kehangatan tepat di wajahnya.

Kemudian ia berjalan menuju dapur, menyalakan mesin kopi dan mengambil dua buah cangkir putih polos dari rak piring. Ia menekan tombol pada mesin itu dan membiarkan cairan hitam itu memenuhi cangkir. Bau espresso menyeruak di ruangan yang membuat semangat paginya seakan bangkit. Ini juga bau menenangkan yang disukai Medina. Kemudian ia mengambil dua buah piring lalu mengisinya dengan nasi hangat dari mesin penanak nasi. Ia mendinginkan nasi tersebut karena Medina tak suka memakan nasi yang terlalu panas. Lalu ia mengambil empat buah telur dari kulkas, memecahkannya kedalam mangkuk hitam kecil dan menaburinya dengan potongan bawang merah dan bawang putih. Ia menyalakan kompor dan meletakkan teflon di atasnya. Sesaat kemudian, ia menumpahkan telur yang sudah dikocok dan membiarkannya matang di sana. Sesekali ia membalikkan telur dengan melemparkannya ke udara. Ia membagi dua telur tersebut dan menaruhnya di piring yang berisi nasi tadi.

Zayn berjalan menuju kamarnya lagi, ia mendapati Medina sedang berpakaian.

“Sarapan sudah siap, Nyonya,” teriak Zayn pada Medina.

Medina tersenyum. Perlakuan hangat Zayn selalu membuatnya jatuh cinta setiap hari. Itulah yang membuatnya ragu untuk meninggalkan Zayn. Baginya, Zayn tak ada celah sama sekali. Ia di perlakukan bak ratu. Tak ada wanita yang tak senang di perlakukan seperti itu.

“Terimakasih, Tuan. Aku akan menyusulmu ke dapur!” sahut gadis itu.

Medina mematut dirinya di cermin. Rok plisket berwarna krem serta baju kemeja hitam longgar di atasnya di padu dengan jas almameter berwarna hijau lumut telah menutupi tubuhnya. Tak lupa ia menyematkan bros bunga dengan hiasan permata putih di atasnya pada jilbab yang menutupi hampir setengah badannya.

Ia berjalan menuju dapur dan mendapati Zayn menunggunya di sana sambil memainkan ponsel.

“Yuk, sarapan dulu,” ajaknya.

Zayn meletakkan ponselnya dan mulai menyantap sarapan yang ia buat bersama Medina.

Jika sedang bersama, kehangatan selalu menjalar di setiap penjuru ruangan. Hati mereka selalu berbunga-bunga walaupun saat ini rasa bersalah tengah menghantui Medina.

***

Lihat selengkapnya