Medina memasang stoking hitam yang terbuat dari wol dari ujung jari hingga menutupi pahanya. Rok span pendek andalannya tak lupa ia kancingi. Kemeja hitam yang ia kenakan di tutupi dengan hoodie longgar berwarna krem. Ia berjalan keluar dari kamar dan menutup pintunya.
Namun keraguan masih menghantui dirinya. Ia sudah tak ingin berada di tempat seperti itu lagi, tetapi ancaman Zayn tidak main-main. Bukan hanya merusak nama baik keluarganya, reputasinya di kampus pun akan terancam.
Ia kembali masuk ke kamar dan duduk di pinggir kasur dengan hati gundah. Ia melihat ke sekeliling ruangan. Ia hapal betul seluk beluk kamar ini. Kamar sederhana berukuran lima kali sembilan meter ini adalah tempat ia dan Zayn memadu kasih.
Di Jakarta banyak orang-orang yang menyewakan rumah untuk mereka yang belum diikat tali pernikahan. Memang harga sewanya sedikit lebih mahal, tetapi uang tak menjadi halangan bagi mereka yang sudah taat pada dosa.
“Mei!” teriak Zayn dari luar.
“Iya Zayn, sebentar!” Medina mengusap matanya yang sembab. Ia bersiap-siap menemui Zayn yang akan mengantarnya kembali ke club.
***
“Mei, aku minta maaf, ya.” Zayn membuka obrolan pertama mereka di mobil setelah diam hampir sepeluh menit.
Medina mengangguk. Kemudian tersenyum, hambar.
“Kamu masih ragu?” tanya Zayn.
“Kalau aku ragu, kamu mau lepasin aku?” Medina balik bertanya.
“Kesannya kaya aku jahat banget, ya sama kamu. Aku cuma butuh kamu, aku nggak mau kamu pergi gitu aja, Mei.” Jelas Zayn.
Medina hanya diam. Ia tak tahu harus jawab apa. Suasana malam Jakarta semakin mencekam rasanya dengan keadaan begini. Namun lampu-lampu kendaraan di jalanan tak pernah surut walau nanti subuh sudah menjelang.
Zayn memarkirkan mobilnya tepat di sebelah Pajero sport hitam yang terletak di basement. Zayn turun kemudian membukakan pintu untu Medina.
Medina turun dengan kostum andalannya. Tak lupa topeng yang menutupi setengah wajahnya ia kenakan tepat di bagian mata hingga pelupuk hidung.
“Semangat, ya untuk hari ini,” ujar Zayn.
Lagi-lagi Medina hanya mengangguk meng-iyakan ucapan Zayn.
***
Dentuman musik yang berasal dari pengeras suara dari setiap sudut ruangan ini sungguh memekakkan. Padahal beberapa waktu lalu, Medina sempat mengikuti alunan musik yang kerasnya tak karuan ini. Entah mengapa sekarang justru ia muak dengan musik ini. Tiba-tiba telinganya rindu bacaan Al-Qur’an sang ibu.
Medina merogoh tasnya yang terasa bergetar.
“Astaga, Yani!” batinnya. Ia melupakan janjinya untuk bertemu Yani di kampus dan pulang ke kos hari ini akibat suasana hatinya yang buruk. Dan ia tak mungkin mengangkat telfon sahabatnya itu sekarang.
Ponselnya kembali berdering. Bukan telfon kali ini, melainkan pesan singkat dari Yani.
“Mei, kamu di mana? Aku udah dari tadi nungguin kamu di kampus. Tapi kata anak Rohis kamu udah pulang duluan. Sekarang udah jam 8, kamu bahkan nggak ke kos sama sekali."