Sayat-Sayat Rindu Bidadari (Sebuah Novelette Psikologi Penggugah Jiwa)

Khairul Azzam El Maliky
Chapter #1

1.Membulatkan Tekad

Hening menyelimuti kalbu. Membuat lautan membisu. Malam yang bertandang dengan nyanyian kegelapan, membuat langit berduka. Angin berembus pelan. Pepucuk daun pohon mangga yang tumbuh bagaikan raksasa, membuat suasana makin mengerikan. Bulat sabit mengambang di sebalik segerombolan awan yang berarak pelan. Bintang-gemintang tumpah ruah menghiasi angkasa. Tak tahu-menahu dengan apa yang terjadi. Di salah satu kamar. Di mana lantunan tangisan meningkahi kepedihan. Di rumah itu.

“Wahyu, jaga adikmu baik-baik. Jangan lupa untuk terus belajar. Raih cita-citamu. Jangan bolos. Apalagi sampai putus sekolah. Jangan lupa untuk selalu istiqamah shalat dan membaca Al-Quran. Jangan lupa untuk selalu mengirimi ayah dan ibu Surah Al-Fatihah dan Surah Yasin setiap malam Jumat. Sebab keduanya adalah doa dari anak yang shaleh. Pasti pahalanya akan mengalir ke alam kubur.” Perempuan itu menatap wajah seorang gadis yang duduk di bibir sebuah dipan reyot. Bibirnya pucat pasi seperti tanaman yang tidak disiram berhari-hari. Tatapan kedua matanya juga kuyu. Wajahnya seperti mayat. Meski berusaha tersenyum, kristal di mata perempuan itu tetap tumpah juga. Seperti kasih sayang dan cintanya kepada anak-anaknya. Tangannya gemetar seperti kayu kecil yang diguncang oleh angin selatan.

Gadis yang duduk tak jauh dari perempuan yang merebah itu tak mampu lagi untuk menahan air matanya yang sedari terbendung. Gumpalan awan hitam itu seketika pecah bak bendungan yang runtuh setelah beratus-ratus tahun menahan derasnya air. Rintik-rintik hujan itu semakin lama semakin deras. Tumpah membasahi pipi dan membentuk parit. Sungai bening itu terkumpul di dagu. Semakin berat air mata itu tumpah ke tanah. Ia menggenggam erat tangan lemah perempuan paro baya itu.

“Ibu jangan tinggalkan kami, Bu. Kalau ibu tiada, lantas aku dan adik akan tinggal bersama siapa?” Gadis itu memohon kepada ibunya agar tidak meninggalkan mereka berdua. Seakan ia meminta kepada Langit agar tidak membawa ibunya pergi, menemui Tuhan Yang Mahatinggi.

Perempuan berambut panjang itu mengulum senyum. Tatapannya yang makin kuyu menatap ke arah wajah putrinya. Seakan ia ingin membulatkan tekad yang telah membatu di dalam kalbu anaknya. Ibu dan anak itu saling menangis. Seakan mereka berdua enggan untuk dipisahkan. Sayangnya, kematian seseorang tidak bisa ditunda apalagi ditangguhkan. Qadha dan Qadar Tuhan tidak bisa ditawar-tawar macam transaksi jual-beli di pasar. Tuhan bukan pedagang ikan. Siapa saja pasti akan mengalami kematian. Bahkan seorang nabi pun.

“Ibu sudah pasrah kepada Allah, Anakku. Selama ini, ibu selalu istiqamah untuk berobat ke mana-mana. Tapi hasilnya Allah yang menentukan. Penyakit ibu semakin membuat ibu tersiksa. Hanya saja ibu tidak pernah mengeluh apalagi menyalahkan Allah. Benar segala penyakit datangnya dari Allah. Kita sebagai manusia hanya berusaha. Berikhtiar untuk menemukan penawarnya. Berapapun harganya pasti akan kita tebus. Termasuk jika harta yang kita miliki harus kita keluarkan untuk membeli obat. Harta yang dititipkan oleh Allah tidak akan mampu menyelamatkan kita dari kematian. Terkadang setelah salah satu dari kita menderita penyakit yang begitu lama ada yang disembuhkan, dan sebaliknya ada yang kembali kepada Tuhan. Sebab tujuan kita diciptakan memang hanya untuk kembali. Dan kita sebagai manusia haruslah pasrah terhadap segala keputusan Tuhan. Innash shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil alamin. Itulah muslim yang sejati, Anakku.” Air matanya ibunya semakin deras ketika mengucapkan kalimat itu. Napasnya mulai tersengal-sengal seolah-olah ada sebuah tangan tak kasat mata sedang menariknya dari telapak kaki.

Gadis yang menyaksikan kejadian itu semakin tak terbendung air matanya. Tangannya tetap menggenggam erat kedua tangan ibunya. Ia masih tidak rela melihat ibunya pergi untuk selama-lamanya.

“Anakku, Wahyu, setelah ibu tiada, tinggallah bersama bibimu. Jauh hari ibu sudah berpesan kepada bibimu. Jangan lupa agar kamu selalu taat menjalankan perintah bibimu. Terutama perintah Tuhanmu. Hanya itu yang bisa ibu wasiatkan untukmu dan adikmu.” Nyawa ibunya tinggal satu per satu. Detak jantungnya makin melemah.

***

Di sisa-sisa ujung usianya, perempuan paro baya itu berusaha untuk menyempatkan diri mengucapkan dua kalimat syahadat. Maka dengan bantuan salah seorang kiai langgaran yang saat itu berkenan hadir, perempuan itu dibimbing untuk mengucapkannya. Tanda sebagai dirinya adalah seorang muslimah. Tanda sebagai dirinya hamba Allah. Hamba yang selama hidupnya tidak pernah menyekutukan Allah dengan apa pun. Tanda sebagai umat Baginda Nabi Muhammad. Sebab jangankan dirinya yang mengucapkan dua kalimat syahadat ketika sakaratul maut, Nabi Muhammad pun bersayadat menjelang wafatnya. Hanya manusia yang tidak menyembah Allah dan mengikuti Nabi Muhammad saja yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat ketika menjelang kematiannya.

Asya-hadu...” Pak Kiai paro baya itu membimbing perempuan itu pelan-pelan.

Lihat selengkapnya