Di manakah ini?
Empat menara bersepuh intan permata menjulur tinggi. Fondasinya tertanam kuat-kuat mencengkeram dada bumi. Pucuknya yang runcing merobek sekumpulan awan yang berarak pelan. Langit hitam legam. Bintang-gemintang menghias angkasa membentuk formasi yang mengesankan. Bulan sabit mengambang indah. Angin tidak seriuh di tengah gurun. Pepohonan buah delima yang tumbuh subur di halaman nan luas ini berbaris dengan rapi. Buah-buahnya yang lebat bak bola kasti yang bergelantungan pada tangkai. Sementara di halaman masjid itu. Masjid dengan seluruh dindingnya bermandikan intan permata dan emas yang berkilauan. Gemuruh suara takbir dan zikir tiada henti mengguncangkan jagat dirgantara. Sehingga buana pun turut melantunkan tasbih, memuji Tuhan Yang Mahatinggi.
Hilir-mudik jamaah yang hadir. Silih berganti mereka berdatangan. Ada yang naik cahaya putih bagaikan kilat. Satu cahaya. Dua cahaya. Bahkan ada yang lima cahaya. Semakin banyak jumlah cahayanya maka semakin cepat melesat. Kecepatannya justru mengalahkan kereta angkasa yang sedang direncanakan oleh Jepang. Wajah mereka juga berseri-seri. Semuanya mengulum senyum. Tak seorang pun yang bermuka masam apalagi bermuram durja. Setelah masuk ke dalam masjid, mereka kembali ke tempat dari mana mereka berasal. Cahaya saling berkelebatan di angkasa.
Di tepi sebuah kolam yang berada tidak jauh dari masjid itu, tampak dua orang perempuan. Perempuan paro baya dan perempuan muda. Perempuan paro baya itu duduk sambil mengelus-elus rambut putrinya yang panjang sepunggung. Sesekali semilir angin memainkan ujung rambutnya yang terurai lembut.
“Wahyu, Anakku, apakah kamu sudah menjalankan wasiat yang ibu sampaikan padamu? Apakah kamu tidak pernah meninggalkan shalatmu? Sungguh, Anakku, shalat adalah sebuah komunikasi antara hamba dan Tuhannya. Komunikasi layaknya seorang anak dan ayah. Komunikasi yang baik adalah ketika sang anak telah mengenal sang ayah. Sang anak tahu sudah tahu dan paham dengan apa yang diminta oleh ayahnya. Maka dengan begitu sang anak tidak akan merasa sungkan untuk berkomunikasi dengan ayahnya. Apabila sang anak tidak begitu akrab dengan ayahnya maka komunikasinya akan buruk. Bahkan membuat sang anak malas untuk berbicara dengan ayahnya.” Perempuan itu mengelus rambut anaknya dengan lembut. Dan membiarkan kepala putrinya berpangku di pangkuannya. Kedua matanya yang lembu memandang ke kolam yang airnya sebening cinta seorang ibu kepada anak-anaknya.
“Sudah, Ibu. Aku pasti menjalankan wasiat ibu untuk senantiasa shalat. Sebab shalat adalah sebaik-baiknya komunikasi dengan Allah.” Putrinya menjawab pertanyaan sang ibu. Membiarkan rambutnya dibelainya dengan tangan kasih sayangnya. Sudah lama ia merindukan belaian kasih ibunya. Seperti dulu, ketika ibunya masih hidup.
“Apakah kamu juga tidak pernah absen untuk membaca Al-Quran?” Ibunya melanjutkan pertanyaannya. Masih membelai rambut putrinya.
Gadis itu mengangguk. Bening-bening kristal itu mulai bertumpahan. Lalu mengalir dengan membentuk parit di pipinya. Sungguh ia tak sanggup untuk menahan segala kerinduan kepada ibunya. Ia ingin meminta kepada Tuhan agar ibunya dihidupkan kembali seperti semula. Tetapi rasanya tidak mungkin akan terjadi bila Tuhan benar-benar melakukannya.
“Kenapa kamu menangis, Anakku?”
“Sebab setiap selesai shalat, aku menghadiahkan Yasin dan Al-Fatihah kepada ibu dan ayah. Aku berharap agar Allah menyatukan ibu dan ayah dalam pelukan kasih sayang-Nya. Membangunkan ibu dan ayah kediaman yang lebih baik daripada di bumi. Mencukupi segala kebutuhan ibu dan ayah.”
Semilir angin mencumbu pucuk daun pepohonan. Daun-daun kering berjatuhan seperti air mata yang berjatuhan ke bumi tiada henti. Seperti rahmat Tuhan yang selalu berjatuhan ke dalam kehidupan manusia.
“Sungguh, Putriku, sebaik-baik hadiah adalah bacaan Al-Quran. Walaupun yang dibaca hanya satu ayat, maka pahalanya akan terus mengalir kepada orang-orang yang telah tiada. Sebagaimana sabda nabi bahwa pahalanya yang tidak akan pernah terputus adalah pahala yang mengalir dari anak yang saleh dan salehah, yang senantiasa menghadiahkan kedua orang tuanya bacaan Al-Quran.”
“Lalu, bagaimana dengan adikmu, Putriku? Apakah Yazid tetap belajar membaca Al-Quran?”
“Iya, Ibu. Meski terkadang Yazid malas untuk pergi ke musalla. Karena biasanya ia belajar membaca Al-Quran kepada ayah.”