Sayembara

Ema Riyanawati
Chapter #1

Pulang

Akhir-akhir ini, Fahrani selalu merasa ada ratusan jarum yang menusuk kepalanya secara bersamaan. Sakit bukan main. Jika sudah begitu, ia ingin sekali memejamkan mata sebentar. Namun saat matanya sudah terpejam, justru ia dihajar habis-habisan oleh bayangan yang muncul silih berganti.

Bayangan masa kecil hingga remaja di desa. Ketika semua yang terlihat oleh mata tampak begitu sederhana. Tanpa pernah Fahrani kecil tahu bahwa sederhana yang sebenarnya berarti rumit.

Tapi bukankah itu kelebihan dari cara kerja isi kepala anak, ia bisa menyederhanakan segala hal termasuk kehidupan itu sendiri.

Jantungnya semakin berdebar ketika memasuki gapura desanya. Biasanya tidak pernah seperti ini. Mungkin, karena ini adalah kepulangannya setelah tujuh tahun bertahan hidup di kota besar. Setelah ini, ia akan menetap di desa entah sampai kapan.

Tujuh tahun sudah ia hidup mandiri dan bisa membeli apa pun yang diinginkan dengan gajinya sebagai karyawan perbankan swasta. Berkutat dengan angka di balik meja, menghitung jumlah penghasilan tersisa dan memutuskan pinjaman yang bisa diberikan.

Tujuh tahun itu ia bisa menghadapi berbagai macam tekanan dengan harapan sebentar lagi gajian, atau sebentar lagi THR-an, tahan-tahan, dan segala macam bentuk pertahanan lainnya. Namun satu tahun terakhir, waktu yang berjalan terasa begitu lambat dan menyakitkan untuk Fahrani.

Ia bermasalah dengan atasan barunya yang bernama Yeni.

Yeni sepertinya memang bermusuhan dengan hampir semua karyawan lama. Misinya mungkin menyingkirkan satu per satu dengan menciptakan perasaan tidak nyaman di lingkungan kerja kepada targetnya.

Yeni juga dekat dengan pimpinan karena kelebihannya dalam membangun opini. Jilat menjilat memang lumrah terjadi di dunia kerja. Fahrani hanya terlalu polos untuk menghadapi dunia seperti itu.

Di tangan Yeni, kesalahan kecil bisa terdengar sampai lapisan ozon. Kesalahan besar seolah bisa menembus lapisan langit ke tujuh. Tapi kebaikan, sebaiknya simpan dalam hati. Sebab semua orang hanya mencari siapa yang paling berdosa.

Jantungnya seperti berhenti ketika Fahrani memarkirkan motor maticnya di depan rumah dengan teras ala aesthetic dengan tiang batang pohon. Benar-benar batang pohon utuh.

Sebenarnya, Fahrani sudah membicarakan perihal kontrak kerjanya yang tidak lagi diperpanjang pada orang tuanya. Ia juga sudah mencoba melamar berbagai pekerjaan namun sepertinya di negara ini segala sesuatu sudah diatur oleh umur dan koneksi. Itulah kenapa di tengah rasa putus asanya keluar dari pekerjaan dan mencari pekerjaan, Fahrani merasa jika hidupnya layak dijadikan film dengan judul “Ayah, mengapa aku WNI?”

Orang tuanya menerima dengan lapang. Tidak ada paksaan. Mereka terlihat siap menampung perempuan pengangguran dan belum punya pacar meskipun sudah menginjak akhir 20-an.

“Untung sudah sampai rumah, sebentar lagi hujan” ibunya membuka pintu. “Ayo, nduk. Masuk”

Tidak punya garasi. Jadilah ruang tamu yang luas ini disekat agar bisa digunakan untuk parkir.

Marlina, ibunya adalah wanita berusia lima puluh yang masih terlihat sepuluh tahun lebih muda.

Sedangkan bapaknya, Suroto Wasidin atau Pak Din, adalah petani sayuran biasa yang berhasil menghidupi dan menyekolahkan tiga anak perempuannya sampai lulus SMA. Dua adik Fahrani sudah menikah.

“Dari pada hidup di kost bikin kepikiran, mending begini saja di rumah. Ayem hati ibu.”

“Maaf, ya bu. Sudah kirim lamaran kerja tapi belum ada satu yang nyangkut” Fahrani menjelaskan dengan lemas.

Lihat selengkapnya