Fahrani, Jamal dan Mandatio adalah teman sejak sekolah dasar. Setidaknya mereka bersama sampai jenjang SMP. Fahrani melanjutkan ke SMA N 1, terbaik dari yang terbaik karena hanya satu-satunya di kota itu.
Sedangkan Jamal melanjutkan ke SMK. Mandatio lahir di keluarga yang jauh dari sentuhan pendidikan. Sekolah sampai SMP saja sudah sujud syukur. Orang tuanya bahkan tidak lulus SD. Padahal bisa dibilang, Mandatio masuk kategori pandai. Perawakannya juga tinggi dan tampan. Tapi lagi-lagi.. Beberapa orang memang tidak bisa mendapatkan lebih dari satu kesempatan sekaligus.
Kesempatan terbesar Mandatio adalah lahir dan dibiarkan hidup.
Selain persahabatan, mereka bertiga juga terjebak dalam cinta segitiga. Meski alurnya membuat pusing. Jamal menaruh hati pada Fahrani, tetapi Fahrani mengharapkan balasan cinta dari Mandatio yang ternyata punya tambatan hati anak Haji Bondan. Walau pada akhirnya semua kalah soal urusan hati, tapi persahabatan mereka tetap baik-baik saja.
Mandatio ditolak mentah-mentah oleh Sandra.
“Bapak minta aku buat bilang ini sama kamu, ya” begitulah akhirnya. Haji Bondan tidak bisa menerima jika anaknya punya teman dekat seorang anak dari pemabuk dan wanita malam. Asal usulnya saja tidak jelas, begitulah protes Haji Bondan.
Namun perjalanan hidup harus selalu berkawan dengan penolakan. Dengan ijazah SMP, Mandatio hanya bisa bekerja di pabrik kayu. Paling necis menjadi penjaga toko. Seharian duduk di toko dengan gaji yang jauh dari cukup membuatnya terlihat kurang macho untuk ukuran laki-laki.
“Laki-laki itu kerja keras,” ejek perempuan yang pernah ia ajak kencan. “Kalau cuma duduk di toko, apalagi toko orang, mau makan apa?”
Makan hati.
Setahun kerja di pabrik kayu, Mandatio kenal dengan Lusi, karyawan di rumah makan. Lusi yang mandiri. Lusi yang pintar cari uang sendiri. Lusi yang baik hati. Lusi yang wangi. Lusi yang diam-diam selalu menuangkan kuah gulai ayam dan sebutir telur saat ia memesan makan siang sekaligus menambah porsi nasi. Hal sederhana yang keterusan itu membuat Mandatio merasa bisa berpaling dari Sandra.
Di hari libur mereka sempat kencan beberapa kali dengan bermain ke air terjun. Makan penyetan di alun-alun kota. Nonton film di bioskop.
Suatu malam, Lusi menghampiri Mandatio di rumahnya.
“Aku hamil”
Bagai kesetrum listrik tegangan tinggi, Mandatio menarik Lusi ke kamarnya. Mereka tidak pernah tidur bersama. Hanya sekadar bermain mata.
“Anak siapa?”
Lusi menggelengkan kepala. Mandatio membaca ketakutan di mata perempuan itu. Entah apa yang merasukinya, Mandatio membuat keputusan sepihak untuk menikahi Lusi. Alasannya karena ia mencintai Lusi. Hal itu menjadi berita besar di desa.