Boni menarik ponselnya dengan paksa dari tangan Suti, istrinya. Pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Alasannya adalah karena orang ketiga.
Sebagai anak semata wayang si lurah korup, Suti tahu suaminya menjadi incaran para perempuan di luar sana. Apalagi, sikap loyal Boni yang keterlaluan. Mirip betul dengan ayahnya.
“Mas, siapa lagi dia?”
“Siapa yang kamu maksud?” Boni balik bertanya. “Jangan menuduhku yang bukan-bukan! Masih baik aku mau mengawinimu. Kerjaanmu cuma belanja, jalan-jalan, hidup mewah. Frustasi sedikit suami jadi sasaran.”
Suti menangis. Jelas-jelas, ia membaca pesan antara suaminya dengan seorang yang pasti perempuan.
“Kalau bukan karena Helmi, sudah aku cerai kau. Jangan mencampuri urusanku! Tugasmu cuma jadi istri yang baik.” Boni keluar dan menutup pintu dengan keras. Helmi yang masih kecil, hanya bersembunyi di kolong tempat tidur.
Boni masuk ke dalam mobil sementara di kursi depan sopir pribadinya, Tama, sudah siap.
“Jalan, Tam.” Perintah Boni dengan tegas. Di persimpangan jalan, ada kemacetan kecil karena perbaikan jembatan.
Semua pekerja memberi salam. Namun satu yang menarik perhatian Boni, Fahrani yang berjalan pulang dari warung.
“Siapa dia, Tam?” Boni menyunggingkan senyuman. “Tiga tahun di sini aku tak pernah lihat perempuan cantik di desa ini.”
“Oh, itu anaknya Pak Din, bos. Sudah lama tinggal di kota. Kerja di kota.”
Pantas, cantik. Untuk ukuran perempuan desa, dia terlalu cantik. Kulitnya bersih, selera berpakaiannya juga tidak ketinggalan jaman.