Cinta pertamanya adalah Fahrani. Anak tomboy itu telah bertransformasi menjadi perempuan cantik yang dingin. Jamal selalu ingin berterima kasih kepada Marlina karena melahirkan perempuan secantik Fahrani. Namun kali ini, ia juga mengucapkan terima kasih kepada ibu kota karena sudah membentuk cinta pertamanya menjadi sedemikian rupa.
Sempurna.
“Kamu sudah seperti saudaraku, Mal. Jadi kalau harus pacaran sama kamu, aku tidak bisa.”
Itulah kalimat penolakan yang keluar dari bibir merah Fahrani dan sampai hari ini masih dia ingat.
“Kalau tidak mau jadi pacarku, kita tetap jadi teman seperti sebelumnya ya?”
Sepakat.
Mufakat.
Toh, setiap hari mereka juga selalu bersama. Itu lebih dari cukup.
Jamal memang tidak setampan Mandatio. Tapi setelah mengikuti sekolah satpam, dia jadi tahu pola hidup sehat dan menjaga tubuh. Jamal yang tambun sejak kecil, berubah menjadi Jamal bertubuh atletis. Bahunya lebar. Semua gadis di desa ini berharap bisa bersandar di bahu Jamal sambil dinyanyikan lagu-lagu cinta. Namun Jamal tetaplah Jamal yang hanya memperbolehkan satu perempuan saja bersandar di bahunya.
Jamal kehilangan pekerjaannya setelah Pandemi Covid datang dan menghajar negara ini tanpa ampun.
Kini dia harus putar otak. Menjadi marketing sepeda motor, kompor listrik, water heater dan terakhir elektronik. Kehidupan itu membuatnya lupa tentang cara menjaga pola makan dan tubuh. Bonus yang didapat selain untuk menanggung hidupnya juga habis untuk menyewa room karaoke beserta pemandunya. Aneka minuman keras yang sempat ia jauhi kini menjadi satu-satunya teman sejati.