Waktu terus berjalan. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Dan tak terasa kini sudah setahun lamanya aku tinggal di Kyoto. Menurutku, setahun bukanlah waktu yang sebentar. Hari demi hari kulalui penuh dengan siksaan batin di sini. Tanpa berhenti untuk menguatkan hati, akhirnya perjuanganku selama ini tak sia-sia. Selama setahun di sini, aku bisa menata hatiku kembali. Sedikit demi sedikit aku bisa melupakan tentangnya. Ya, walaupun belum sepenuhnya lupa. Ayolah, kalian pasti tahu, kan. Tak mudah melupakan cinta pertama. Apalagi hubungan kami sebelumnya memang sangat dekat sebelum perasaan cinta itu muncul. Cinta sepihak pastinya.
Haahh.. sudahlah. Membicarakan tentang cinta sepihakku tak akan ada habisnya. Cerita masa lalu yang sangat menyedihkan tentunya. Tapi kini aku menikmati kehidupanku di sini. Aku memiliki teman yang cukup akrab yaitu, Aiko, resepsionis di perusahaan Saito Group.
Ngomong-ngomong soal Eiji, hubungan kami juga semakin dekat. Eitts, jangan salah paham dulu. Kami hanya berteman. Hubungan yang awalnya hanya sebatas atasan dan bawahan, kini naik satu tingkat menjadi teman baik. Tak ada salahnya bukan menjalin hubungan baik dengan orang lain di saat merantau di negeri orang seperti ini.
Aku juga sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Ayumi dan Toshiro. Selama aku berada di sini, mereka selalu mensupportku. Kalimat penyemangat selalu mereka lontarkan setiap kali kami telponan atau melakukan panggilan vidio. Aku bahagia, setidaknya masih ada orang-orang yang peduli dan tulus menyayangiku.
Sudut bibirku tertarik. Aku tersenyum bahagia mengingat mereka yang selalu ada untukku di saat suka maupun duka. Hingga sebuah suara menyadarkanku dari lamunan.
"Heh, Sakura. Kau gila, ya. Senyum-senyum sendiri seperti itu," sebelah alis Eiji terangkat. Pemuda itu menatapku dengan tatapan aneh.
"Ck, aku masih waras," sahut ku kesal sambil melemparkan bolpoint ke arahnya. Beruntung Eiji segera menghindar. Kalau tidak, bisa-bisa benda itu akan mengenai matanya. Dan aku terancam kehilangan pekerjaanku karena telah mencelakai bosku sendiri.
Eiji menunduk memungut bolpoinku yang terjatuh di bawah mejanya, "Saku, kau ingin mencelakaiku?" seru Eiji dengan tatapan tajam.
Aku hanya memutar bola mata bosan, "salah sendiri. Siapa yang mulai duluan? Sini. Kemarikan bolpoint ku," mungkin sangat tidak sopan, jika aku memerintah atasanku begini. Tapi ini Eiji. Pria menyebalkan yang setiap hari selalu mengganggu dan merusak mood ku.
"Hei, aku ini bos mu. Bisa-bisanya kau memerintahku. Ambil sendiri kalau kau mau. Kau sendiri juga yang melemparnya," balas Eiji tak mau kalah.
"Dasar menyebalkan," umpatku. Pada akhirnya aku sendiri yang menghampiri bolpoint kesayanganku di meja kerja Eiji.
Saat aku hendak berbalik, secepat kilat Eiji menarik pergelangan tanganku. Membuatku jatuh terduduk di pangkuannya. "Tapi, kau suka, kan," ucapnya dengan nada menggoda sambil mengedipkan sebelah matanya.
Para gadis pasti akan merona saat mendapat perlakuan seperti ini oleh pemuda tampan seperti Eiji, terkecuali aku. Jangankan merona, aku justru hampir muntah di buatnya. Tunggu-tunggu. Tampan? Baru saja aku mengakui Eiji tampan? Jika pemuda itu mendengarnya, pasti dia akan besar kepala.
"Hoeeekkk.. aku ingin muntah mendengarnya," ucapku sembari kembali berdiri dan melangkah menuju mejaku.
Eiji mengerucutkan bibirnya kesal, "jahat sekali kau, Saku."
"Baru tahu kalau aku jahat," ku sunggingkan sudut bibirku, menyeringai lebar.
Seperti inilah kegiatan ku sehari-hari di kantor. Tiada hari tanpa berdebat dengan Eiji. Kadang memang membuatku kesal. Namun, tak dapat ku pungkiri jika kehadirannya mampu membuatku tersenyum kembali setelah aku terpuruk dalam kesedihan.
.
.