Sayonara, Tuan Fumikiri

Fitra Firdaus Aden
Chapter #3

Samudera Hindia

Pada hari yang berhujan itu, kami bertemu.

Setelahnya, yang terjadi adalah adalah cinta yang mengubah seluruh hidupku.

---o0O0o----

Dia masih terlelap di sebelahku, dalam wajah damai yang hanya ia perlihatkan kepadaku. Sementara itu, di luar jendela, hujan yang turun sejak sore tadi masih mengguyur. Bahkan semakin menggebu-gebu.

Dia terlelap di sebelah. Setelah menumpahkan cinta ke dalam tubuhku yang lelah. Kegagahannya yang menguasai setiap jengkalku, deru napasnya yang memburu, tak lagi terlihat. Kehangatannya kala kulit kami saling menyentuh sudah menghilang.

Dalam dingin di luar sana dan di tepi pundakku yang telanjang, segalanya jadi berbeda. Tidak ada lagi kami yang menyatu. Melainkan kami yang terpisah satu-satu. Lalu, keterasingan muncul. Keterasingan yang bukan sekali ini kurasakan. Keterasingan yang setiap kali menebar, kugenggam agar tidak dilihatnya.

Dia suamiku, dia sahabatku, dia kekasihku. Tapi, pada suatu titik, seperti diriku yang bagai melayang di kamar ini, dia sama sekali tidak kukenali. Untuk membuat penjabaran ini tak terdengar aneh, kubisikkan sebuah fakta: sejak kami menikah, ini adalah ketiga kalinya kami bercinta. Sejak 15 bulan lalu. Yang pertama, pada malam ketiga setelah pernikahan. Yang kedua, pada sebuah pagi ketika aku demikian penasaran dengannya. Lalu, malam ini ....

Semuanya terjadi selalu saat hujan. Bukan hujan biasa, tetapi hujan yang seperti ini. Hujan yang rintik awalnya berbeda. Hujan yang butir demi butirnya menghantam bumi teratur menciptakan nada. Hujan yang menerbangkan aroma tanah basah di dekat jendela kepada kami yang duduk berdua. Hujan tempat kusandarkan kepala di pahanya. Lalu, lagu kesayangan kami itu diputar dia: “tiba-tiba, kuberhenti dan menengadah ke langit. Ah, tetes hujan tumpah satu demi satu, berkerlip indah ...” Pada detik itulah lidah kami saling menari di tempat yang tidak biasa.

Kami melakukannya 3 kali. Apakah benar jika kusebut sudah 3 kali? Apakah salah jika kusebut hanya 3 kali? Apakah aku tidak menarik untuknya? Apakah kalimat seperti itu layak disampaikan untuk seseorang yang membuatkanku sajak seminggu sekali, setiap Rabu ---hari kelahiranku? Apakah dia menyukai sesama jenis? Apakah kalimat seperti itu boleh diucapkan untuk seseorang yang tadi membuatku melayang berkali-kali? Yang bisa kuraba dari semua ini adalah: dia seperti sedang menunggu sesuatu. Tapi, apa itu?

---o0O0o----

Wahai kekasih, kala memelukmu

Hujan yang baru saja tiba,

Menghanguskan segala sesuatu

 ---o0O0o----

“Ah ... aku ketiduran,” dia yang terbangun memandangku, mencari mataku.

Its okay. Kamu pulang cukup malam. Tubuhmu perlu istirahat. Apalagi kita ...” kalimatku terhenti ketika dia mengusap rambutku, memperlakukanku sebagai gadis kecil lugu yang butuh perlindungan di dadanya.

“Hmmm ....” dia tersenyum tenang, lapang, tapi kosong. Hampa. Titik itu lalu jatuh. Mataku membasah begitu saja. Entah karena apa.

“Terima kasih malam ini sudah mau melakukannya lagi,” godaku, semakin merapatkan jarak antara kami. Sekali lagi.

“Apakah menyenangkan?”

“Selalu. Kamu bisa melakukannya kapan pun kau mau.”

“Begitu?” dia mencium bibirku. Ketika aku berharap akan ada pagutan kecil yang akan melanjutkan malam panjang ini, dia memilih mengalihkan pandangan.

Pada saat-saat seperti ini aku ingin menguasainya, mengendalikannya, dan memaksa dia untuk melepaskan segala beban yang ada. Namun, tubuhku kaku. Bibirku kelu. Ketika dia sudah memandang langit-langit rumah ini, berarti waktu itu berakhir. Aku masih berhak memeluk tubuhnya, mengelus semua bagian tubuhnya, tapi dia sudah bukan dirinya yang satu jam lalu. Dia sudah jadi orang yang berbeda.

“Apa kamu nggak ingin mengganti lagu?” kuambil ponsel miliknya, memeriksa pesan WhatsApp, mengecek akun Facebook, dan memeriksa likes Instagramnya. Dia tidak menoleh, tapi tersenyum puas melihatku tidak menemukan apa-apa.

"Sampai kapan kamu curiga sama aku?" barulah dia berpaling kepadaku, mencari-cari mataku.

"Soalnya, kamu memang selalu aneh. Semua yang kamu lakukan terlalu nggak biasa. Wajar dong kalau aku merasa perlu melacak semua kegiatanmu. Yah, itu bisa diartikan sebagai bentuk cinta nggak sih? Cinta yang takut kehilangan?"

"Hmmm ... mungkin begitu."

"Waktu awal kita menikah dulu, kukira kamu canggung beradaptasi sama aku. Tapi, setelah berbulan-bulan, kurasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Benar begitu?" kucoba melawan matanya. Mengamati kapan bakal melirik ke arah kanan atas.

"Bukannya semua orang akan selalu menyembunyikan sisi terdalamnya dari siapa pun?"

Jika ada lomba berkelit di antara kami berdua, dia sudah pasti keluar sebagai pemenangnya. Aku pernah bercanda, Ada yang lebih panjang daripada Sungai Nil, sungai terpanjang di dunia, yaitu alasannya.

"Termasuk bersembunyi dari istrinya? Seseorang yang sekarang hampir selalu kamu temui selama 24 jam sehari karena pandemi Corona?" Tampaknya aku punya peluang untuk mengalahkannya malam ini.

"Kenapa tidak? Semua hubungan terjadi dalam prinsip untuk mendominasi yang lain. Kalau kamu buka semua kartumu kepada pasangan, dia akan memenangkan permainan. Itu satu hal. Yang lain, kalau kamu menampilkan semua wajahmu sekarang, terus sepanjang sisa hidup, pasanganmu nggak akan menemukan yang baru darimu. Apa dia nggak akan bosan?"

"Jadi, aku membosankan?" Aku tidak mau kalah lagi.

Lihat selengkapnya