Dia menyandarkan kepala di bahuku. Kami berdua, sepasang suami-istri yang baru saja menikah, terjebak di rumah dalam pagi hari berhujan yang janggal. Kami berdua, sepasang suami-istri yang baru saja menuntaskan rutinitas pagi biasa, menonton layar televisi yang tersambung ke Youtube.
Layar yang tadinya diisi oleh video musik penyanyi dan band favorit kami, kini justru menampilkan runtuhnya sebuah gedung tiada berguna. Kepingan demi kepingan gedung itu meluncur jatuh dengan sempurna. Debu yang ditimbulkannya mengembang bagai awan raksasa, dan entah mengapa, meninggalkan rasa bahagia.
"Timur ... hmmmm~ kamu beneran ingin anak laki-laki?" Dia menggelendot manja. Napas kami masih seirama. "Gimana jika jadinya perempuan?"
Jika jadinya perempuan, berarti ucapan laki-laki itu hanya omong kosong. Laki-laki yang hanya bisa kutebak bahwa dia laki-laki dari suaranya. Pasalnya, kepalanya sama sekali tidak normal. Bukan kepala manusia, meski badannya manusia. Kepala adalah .... ah, tapi aku tak akan bercerita soal dia kepada Soraya.
“Sudah kusiapkan namanya. Biru Langit Malam. Bagus kan?”
“Keren juga, tapi itu kan nama laki-laki?"
"Aya, anak kita ini laki-laki. Percayalah."
"No, mesti ada alternatif."
"Tidak ada alternatif untuk sesuatu yang sudah pasti 1000 persen."
"Arus Timur, you're not God, me neither. Cobalah, kalau nanti perempuan, gimana kalau namanya adalah sesuatu yang berunsur bulan?"
“Kalau Biru Langit Malam dan nama yang berunsur bulan sih tidak bisa disandingkan sebagai pilihan. Kedua nama itu cocoknya bersandingan sebagai pasangan.”
Soraya mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu, menimang-nimang, "ngomong-ngomong kenapa Biru Langit Malam?"
"Karena dia akan lahir pada tengah malam, sayang."
"Kalau dia lahir pada pagi hari, namanya harus diganti dong."
"Nggak perlu diganti. Nggak ada alternatif yang sudah pasti 2.000 persen," kataku setengah tertawa. Bagaimana aku bisa menjelaskan hal-hal seperti ini? Apa dengan berpura-pura kalau mata kanan ini dapat melihat masa depan?
"Kamu bukan Tuhan, baby ...."
Memang. Tapi, mungkin laki-laki itu adalah perwakilan Tuhan. Laki-laki yang nyaris setiap malam menemuiku dalam mimpi. Laki-laki yang bercerita apa yang akan terjadi pada sehari, seminggu, sebulan, atau setahun ke depan. Laki-laki yang memberitahuku tentang kehadiran Soraya. Laki-laki yang semua ucapannya selalu benar, tanpa sedikit saja kesalahan. Laki-laki yang kepalanya bukan kepala manusia, tetapi kepala ....
Pertemuan pertamaku dengan lelaki itu terjadi ketika aku masih berhubungan dengan seorang perempuan yang bukan Soraya. Sebutkanlah nama perempuan itu adalah N. Seminggu sebelum aku dan N putus, lelaki itu datang ke mimpiku, berkata, "Tuan, Nona N bukan jodoh Anda, jangan sia-siakan waktu. Jodoh yang sebenarnya akan datang 5 tahun lagi".
Saat itu, tentu saja aku tak percaya dengan ucapan lelaki tadi. Aku dan N sudah sangat dekat. Keluarga kami sudah saling kenal. Aku yang ketika itu masih kuliah bahkan sudah merancang masa depan bersamanya. Sementara N mengambil S2, aku akan bekerja di penerbit buku X. Namun, tepat seminggu setelah mimpi itu, kudapati N punya rencana lain di belakangku. Dia mendua ... menghancurkan mimpi kami berdua ....
Memulihkan hati setelah berpacaran lebih dari 2 tahun bukan perkara mudah. Ibarat seseorang yang sedang mandi di sungai beraliran deras, lantas terseret arus. Agar bisa mencapai daratan kembali, orang tersebut akan menghalalkan segala cara. Yang penting selamat. Berpegangan pada rumput di pinggir sungai pun dilakukan, sampai menemukan benda yang lebih kukuh. Setelah N, aku berupaya bangkit dengan mendekati perempuan dengan inisial O, P, Q, hingga R. Tidak ada yang selama N. Tidak ada yang bergerak ke jenjang serius, hanya penjajagan dalam hitungan kurang dari satu bulan.
Ketika itu, kegalauan kembali menerpa hidupku. Dalam usia yang sudah lebih matang, pekerjaan tetap dengan penghasilan lumayan, aku tak punya teman berbagi. Aku terus berusaha mencari, tetapi tidak pernah menemui. Aku mencapai titik putus asa, sehingga tidak bisa berharap apa-apa lagi.
Malam itu, tepat 5 tahun sejak laki-laki itu datang ke mimpiku, ia muncul kembali. Dia ditemani seorang perempuan yang sama anehnya. Perempuan itu berbadan bulat seperti jam dinding, mengenakan kerudung, tetapi wajahnya adalah jam dinding, lengkap dengan jarum jam dan menit warna hitam, juga jam detik warna merah yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
"Sudah saatnya Tuan, dia akan datang dengan cara tidak disangka-sangka."
Aku langsung terjaga. Memandang ke jendela kamar yang belum kututup. Mendengar suara hujan tengah malam yang tidak biasa. Nada hujan yang bersahabat. Nada yang meneduhkan. Hatiku hangat. Jantungku berdebar. Sesuatu yang indah memang akan datang, kubisikkan itu dalam kesunyian.
Hari itu kami berjumpa. Aku dan dia. Timur dan Soraya. Ketika itu, aku sedang mengisi acara kepenulisan untuk mahasiswa jurusan Sastra Indonesia universitas tempat berkuliahku dulu. Sebelum acara dimulai, aku duduk-duduk di deretan kursi depan ruang jurusan, sembari mengenang masa lalu bersama kawan-kawan yang kebanyakan sekarang entah di mana.
Seorang perempuan datang menghampiri. Entah karena wajahku bersahabat, atau karena wajahku sudah terlalu tua untuk dianggap mahasiswa, dia mengira aku sebagai dosen. "Permisi Pak, boleh bertanya? Ruang S2 di fakultas ini ada di mana, ya?" katanya. Kemungkinan lain, dia mengira aku senasib sepenanggungan dengannya: seorang calon mahasiswa S2 yang tengah tidak tahu ke mana arah tujuan.
Sejak awal aku terpikat padanya. Keindahan wajahnya. Lekuk tubuhnya. Nada suaranya. Kedalaman matanya. Kesopanannya. Cinta pada pandangan pertama? Entahlah, tetapi aku seperti sudah sangat mengenalnya. Seolah kami pernah hidup bersama sekian tahun lamanya. Ini berkebalikan dengan fakta yang kelak kuketahui: sejak kecil hingga kuliah S1, Soraya tidak pernah keluar dari kota kelahirannya.
Sejak pertemuan dengan Soraya, aku semakin sering bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang datang ke mimpiku bersama perempuan jam. Awalnya, pembicaraan hanya berlangsung satu arah. Dia memberitahuku ini dan itu. Dia menasehatiku begini dan begitu. Namun, lambat laun, seiring dengan kesadaranku yang makin meningkat dalam mimpi, Arus Timur ini mulai bisa berbincang dengannya.
Laki-laki itu ibarat mata kananku, berguna untuk melihat masa depan. Sedangkan perempuan jam itu, ibarat mata kiriku. Dari melihat jarumnya, dapat kulihat masa yang tertinggal di belakang. Semua kebodohan dan kesalahan.
Dari laki-laki itu, kudapatkan informasi gratis soal apa-apa yang ada di depan sana. Dari dia aku tahu kapan waktu yang tepat untuk melamar Soraya, menikahinya, hingga bercinta pertama kali dengannya. Bahkan, kapan waktu yang tepat membuatnya hamil. Hari apa, tanggal apa, jam berapa. Lalu, sang perempuan jam akan memutar jarumnya sesuai omongan sang lelaki.
"Anda akan memiliki anak laki-laki Tuan, anak yang luar biasa. Dia akan lahir pada hari A, jam B, tepatnya pada malam hari," kata lelaki itu.
"Apakah Anda Tuhan yang sedang menyamar sehingga tahu bahkan hingga sedetail ini?" tanyaku suatu ketika.
"Oh, tentu saja saya bukan Tuhan. Saya hanya makhluk biasa yang tidak terjebak hukum ruang dan waktu seperti Anda. Perlu Anda ketahui Tuan, waktu bukanlah garis linear. Waktu adalah lingkaran spiral yang mengembang dan menyempit, seperti jantung orang yang sedang jatuh cinta," jawabnya.
"Bagaimana jika setelah semua usaha ini, anak saya perempuan?"
Tiba-tiba saja, wajahnya yang bukan wajah manusia, tetapi wajah benda, menghitam. Dia tidak berbicara, tetapi hawanya berubah jadi mengerikan. Sosoknya masih sama, tetapi terkesan jauh sangat tidak bersahabat. Bahkan, dalam diamnya seakan-akan lelaki itu bisa menelanku bulat-bulat. Saat itu juga aku tahu, pertanyaan ini salah.
"Maaf, saya ingin membuka semua kemungkinan."
"Oh, tentu saja saya paham dengan pikiran Anda, Tuan. Anda manusia. Apa boleh buat. Anda harus mempunyai anak laki-laki. Itu adalah takdir yang harus kita buat," dia meraih tanganku. "Mendekatlah, Tuan. Lihat mata saya."
Kutatap matanya yang kadang seperti lensa kamera dan kadang seperti lampu perlintasan kereta api. Sebuah masa depan, berupa potongan-potongan kejadian, bergerak, meluncur dari kiri ke kanan, membuat mataku bergerak dari kanan ke kiri, lalu kanan ke kiri lagi. Potongan kejadian itu, yang awalnya masih kabur, semakin jelas, jelas, jelas, dan semakin jelas lagi. SEMAKIN JELAS LAGI! Mataku membeliak. Tubuhku bergetar hebat. Gigiku gemeletuk Soraya, Soraya, Soraya. SORAYA! INI TIDAK BISA TERJADI!
"Jika Tuan mau membantu saya, saya juga akan membantu Tuan," katanya.
Aku tidak punya pilihan.
---o0O0o----
"Anak bapak dan ibu tampak malu-malu, biji salaknya nggak kelihatan," bidan itu menerangkan foto USG yang kami amati bersama.
"Berarti, kemungkinan jenis kelaminnya perempuan kan, Bu?" istriku bersemangat sekali, seperti biasa.
"Bisa jadi begitu," sang bidan memberikan senyuman tulus. Namun, bagiku itu jadi senyuman peringatan. Ada yang harus kulakukan. Segera. Secepatnya.
"Apa kubilang?" Soraya meninju bahuku ringan, "Dia ini pinginnya anak pertama laki-laki, Bu."
"Tapi, masih ada kemungkinan dia laki-laki kan Bu?" sergahku cepat.